Senin 20 Sep 2021 08:13 WIB

Dampak Fatal Akibat Salah Tafsir Alquran dan Hadits  

Penafsiran keliru terhadap Alquran dan hadits bisa picu radikalisme

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Penafsiran keliru terhadap Alquran dan hadits bisa picu radikalisme. Alquran (ilustrasi)
Foto: ANTARA
Penafsiran keliru terhadap Alquran dan hadits bisa picu radikalisme. Alquran (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejarah mencatat bahwa adanya konflik kekerasan, baik itu perang maupun pertikaian dan pemberontakan tidak pernah terjadi atas anjuran agama. Justru, agama kerap dijadikan justifikasi terhadap tindakan-tindakan kekerasan dari masa ke masa, termasuk radikalisme.

Najih Arromadloni dalam buku Daulah Islamiyah dalam Alquran dan Sunnah menjelaskan bahwa pelibatan Alquran dan hadits sebagai otoritas sumber utama agama ke dalam konflik akan memiliki intensitas yang sangat keras. 

Baca Juga

Dalam sejarah panjang perjalanan agama-agama, kekerasan yang ‘difasilitasi’ agama menjadi luar biasa beringasnya.

Konflik antara-Islam dengan Kristen yang dikonstruksikan dalam Perang Salib, misalnya, merupakan peperangan sadis yang sungguh melelahkan dan menghancurkan. 

Demikian pula konflik antara antara umat beragama lainnya. Perseteruan-perseteruan lain yang ditindihkan dengan legitimasi agama juga menunjukkan tingkat kesadisan yang luar biasa.

Kembali kepada penyalahpahaman dan penyalahgunaan ayat dan hadits, Najih Arromadloni mengutip pernyataan Syekh Yusuf Qardhawi yang mengakui adanya fakta mengerikan ini. 

Syekh Yusuf bahkan menyebut bahwa salah satu masalah yang muncul di kalangan umat Islam saat ini adalah adanya krisis dalam memahami Alquran dan hadits serta bagaimana berinteraksi dengannya.

Inilah yang dinilai tampak pada sebagian kelompok yang menyuarakan kebangkitan kembali Islam dengan jargon kembali kepada Alquran dan hadits serta bercita-cita mendirikan negara Islam. 

Sedangkan dalam penelitian Al-Zastrouw Ngatawi ditemukan bahwa gerakan Islam radikal sebenarnya merupakan cermin dari adanya komodifikasi dan politisasi agama dalam proses sosial.

Dalam gerakan ini Islam hanya dijadikan sebagai legitimasi politik, sebab pada hakikatnya gerakan ini tidak memiliki spirit Islam. Ia hanya merupakan perpanjangan dari kekuatan politik yang mempunyai hasrat untuk berkuasa. Karenanya, simbol, bahasa, dan tokoh Islam tidak lebih hanya sebagai kedok untuk menutupi permainan politiknya.

Ngatawi menyimpulkan bahwa mereka bukanlah gerakan Islam-radikal fundamentalis yang berjuang demi kepentingan Islam, melainkan gerakan Islam-radikal fundamentalis yang menggunakan agama sebagai kedok untuk kepentingan politik dan ekonomi para aktivisnya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement