Jumat 06 Apr 2012 13:14 WIB

Plagiarisme Bukan Endemi atau Pandemi

Red: Heri Ruslan
Sofiandy Zakaria
Foto: humas umj
Sofiandy Zakaria

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sofiandy Zakaria, MSi*

Plagiarisme yang terjadi di dalam dan di luar perguruan tinggi bukanlah endemi ibarat penyakit yang berjangkit di dalam suatu daerah tertentu atau pada suatu golongan masyarakat. Bukan pula  merupakan pandemi seperti wabah penyakit yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Plagiarisme lebih merupakan patologi pribadi manusia, yang mengumbar naluri hewaninya dalam mencapai tujuan untuk memuaskan dirinya.

Ia menghalalkan segala cara dan mengabaikan segala  aturan main, etika pergaulan hidup dan hak-hak orang lain, baik yang bersumber pada hukum formal suatu negara atau institusi, maupun nilai-nilai universal keagamaan. Plagiarisme “menular” atau “ditularkan” kepada orang-orang yang  pertahanan egonya lemah. Seseorang plagiat adalah orang yang memiliki ego yang rentan bahkan lemah dalam melihat realitas, sehingga tidak mempunyai kemampuan untuk mengembangkan dan menyalurkan dorongan instingnya kepada hal-hal positif.

Demi untuk mencapai prestise dan supaya dianggap berprestasi, dengan sadar ia menerabas segala aturan yang berlaku, baik yang tertulis atau tidak. Apabila merujuk kepada kamus Wikipedia, ia pun bisa jadi dikatagorikan sebagai orang yang mengidap “sakit jiwa tanpa gangguan mental”.

Plagiarisme adalah salah satu jalan pintas untuk mencapai tujuan jangka pendek , terutama  ijasah dan gelar kesarjanaan dari jenjang yang paling rendah sampai yang tertinggi. Plagiarisme juga adalah jalan pintas untuk mencapai tujuan jangka panjang misalnya   mendapatkan pekerjaan, jabatan, kekuasaan dalam berbagai bentuk berbisnis, serta kegiatan sosial lainya.

Dengan demikian secara kasat mata maupun pikiran,  plagiarisme mustahil  dilakukan tidak untuk tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau sosial.  Oleh karena itu pula, plagiarisme dapat dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai keinginan, kebutuhan, dan kemampuan untuk melakukannya demi kesenangan dan kepuasan dirinya, walaupun harus merugikan orang lain.

Issu plagiarisme muncul lagi ke permukaan dan menarik perhatian banyak orang, karena diberitakan oleh media massa, bahwa perbuatan tercela tersebut dilakukan oleh seorang Presiden Hongaria Pal Schmitt. Desas-desus ia akan mengundurkan diri mencuat pada hari jumat (30/3/2012), sehari setelah Semmelweis University di Budapest mencabut gelar Doktornya. Namun, Schmitt tetap bertahan dan berkeras ia “tak melihat hubungan “antara masalah plagiat dan pekerjaannya (Kompas.com 3/4/2012).

Plagiarisme tidak muncul ke permukaan seperti halnya wabah penyakit flu burung, HIV atau TB, karena dilakukan secara diam-diam oleh orang perorang. Kalau pun plagiarisme melibatkan orang lain, secara perorangan atau lembaga maka keterlibatan mereka menjadi rahasia aib bersama yang harus ditutup rapat-rapat.

Plagiarisme memang tidak mematikan dalam jangka pendek, cuma memalukan dan semakin memperhatinkan untuk kalangan akademisi di perguruan tinggi pada khususnya, dunia pendidikan pada umumnya, yang menjunjung tinggi prinsip nilai -nilai kejujuran, kepercayaan, keadilan, kesetaraan, penghargaan, dan kebebasan berekspresi dan toleransi. Pembiaran tindakan plagiarisme yang dilakukan  individu-individu tertentu, bisa menjelma menjadi tindakan biasa yang dilakukan kelompok, golongan bahkan massa atau organisasi tertentu. 

Sanksi akademik dan tindakan hukum terhadap para pelaku plagiarisme tidak akan membuat malu atau jera para pelakuknya. Banyak universitas yag telah melakukan  upaya preventif dan tindakan represif, untuk mencegah berkembangnya wabah plagiarisme lebih luas. Upaya yang hanya normatif - seperti pacta integritas atau pernyataan keorisinalan karya ilmiah yang dibuat mahasiswa yang ditandatangani di atas materai - belumlah cukup.

Perilaku jujur dan saling menghargai hak-hak orang lain merupakan proses pembentukan karakter individu, kelompok, golongan atau bangsa yang  harus dibangun sejak dini bukan hanya di perguruan tinggi, tapi  juga di lingkungan keluarga.  Peraturan dan perundang-undangan atau produk hukum terkait baru bisa ditegakkan, apabila lembaga-lembaga  yang bertanggung jawab mampu dan mau mewujudkan kaidah-kaidah normatif tersebut dalam kenyataan hidup sehari-hari. Bukan sebaliknya diserahkan kepada parameter etis perorangan.

* Penulis adalah Dosen Tetap FISIP UMJ dan Dosen Tidak Tetap Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement