Jumat 25 May 2012 11:20 WIB

Piala FA di Tengah Lapangan Kemayoran

Red: Heri Ruslan
Sepakbola (ilustrasi)
Foto: Antara
Sepakbola (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Abdullah Sammy

Sebidang tanah lapang di tengah Kemayoran Raya, tampak kosong melompong. Hanya ada batang bambu yang berdiri di kedua sudutnya. Sulit mencerna apa fungsi bambu rapuh itu. Namun jaring tali rafia secara samar memberi definisi bahwa lapangan tersebut merupakan arena permainan sepak bola.

Jangan kira lapangan di tengah Kemayoran itu menyerupai megahnya Old Trafford atau Santiago Barnabeu di Madrid. Alih-alih menyerupai lapangan sepak bola klub amatir, tanah lapang di dekat Pekan Raya Jakarta ini lebih merupai tempat menggembala ternak.

Kondisi yang tergambar di tengah kota Jakarta itu bisa dimaklumi karena lapangan tersebut hanya-lah “sulapan” warga untuk mencari celah bermain sepak bola. Sulitnya mencari fasilitas olahraga jadi alasan mengapa masyarakat menjadikan arena yang bak belukar itu sebagai tempat menyaklurkan hobi dan bakat.

Pemandangan di lapangan bola “darurat” itu terlihat dari balik kaca lantai lima gedung Jakarta Internasional Expo, Kemayoran. Sepanjang mata memandang dari ketinggian gedung, hanya tanah itulah yang masih berdiri di tengah kepungan gedung-gedung pencakar langit ibu kota.

Pemandangan itu juga ditunjang fakta tentang ruang terbuka hijau di makin langka di Jakarta. Walau Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 telah mengamanatkan penyediaan 30 persen ruang terbuka bagi lingkungan dan kegiatan masyarakat, namun kenyataannya aturan itu masih sebatas angan angan belaka.

Data Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah DKI, ruang terbuka di Jakarta mencapai kurang dari 6.500 hektare dari total 65 ribu hektare luas Jakarta. Angka ruang terbuka yang masih batas minimum itu pun masih harus dibagi ke sejumlah sektor, tidak hanya untuk lapangan sepak bola.

Walhasil, lapangan sepak bola makin sulit didapati. Kalaupun ada lapangan yang tersisa, itu dalam kondisi nahas. Rumput tidak rata, tanah berlubang, dan tidak ada fasilitas lain kecuali tiang sekedarnya. Begitulah kondisi yang tergambar di lapangan Blok S di Jakarta Selatan.

                                                                                ***

Pemandangan ironi di balik kaca Jakarta International Ekspo akhirnya tertutupi sesaat. Karena di depan dua kaca yang mengapit selasar gedung di Arena PRJ 2011 ini terpampang panggung berukuran 3X5 meter dengan sebuah benda di tengahnya.

Benda tersebut bukanlah barang sembarangan, melainkan sebuah piala kejuaraan sepak bola tertua di dunia, Piala FA. Dibawa olah dia pria berambut pirang, Piala FA dipampang kepada khalayak publik Jakarta dan sesaat menutupi tampilan tanah lapang sepak bola Kemayoran di bawahnya.

Gemerlap piala kontan menarik perhatian puluhan awak media yang telah setia menunggu kehadirannya. “Kami sengaja membawa Piala FA ini ke Jakarta, karena piala ini punya makna. Tim terbawah Inggris sekalipun bisa bersaing merebutnya. Semua bisa jadi juara,” kata Chief Marketing Officer Big Cola, perusahaan yang mendatangkan piala FA ke Jakarta, Jorge Lopez.

Pria asal Spanyol ini pun menyinggung pesan moral di balik kedetangan piala FA. Piala FA, kata dia, membuka kesempatan bagi tim amatir sekalipun untuk bersaing merebutnya. Selalu ada harapan untuk menjadi juara piala FA. “Karena itulah kami bawa pesan ini bagi persepak bolaan Indonesia bahwa anda bisa meraih juara dengan berusaha,” katanya.

Sejenak perkataan Lopez terhenti karena kehadiran dua sosok pria yang tidak asing bagi publik sepak bola dunia. Dia adalah legenda Manchester United Bryan Robson dan mantan punggawa Liverpool Steve McMahon. “Saya bangga bisa turut hadir menjadi duta promosi bagi Piala FA di Jakarta,” kata Robson membuka kata.

Pria yang kini menjadi pelatih Thailand itu pun memberi kesempatan bagi media untuk bertanya. “Apakah Anda melihat ada pemain Indonesia yang pantas tampil di Liga Inggris?" Begitu salah satu jurnalis bertanya penasaran.

Pertanyaan yang seketika langsung disambar McMahon. “Maaf, saya harus katakan, tidak!”  ujar pria yang telah empat tahun bermukim di Singapura tersebut.

Jawaban yang lebih rinci dijelaskan lebih lanjut oleh Robson. Pria yang sukses meraih tiga piala FA itu menilai, Indonesia memang memiliki modal sumber daya manusia yang melimpah. “Dalam sepak bola memang ada sejumlah unsur yang mempengaruhi. Visi, teknik, mental, dan juga latihan rutin,” kata dia.

Indonesia pun, lanjut Robson, punya modal antusiasme publik yang luar biasa. “Saya sudah membuktikan itu langsung saat bertanding di Indonesia bersama tim Thailand,” puji Robson akan fanatisme sepak bola di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta

Tapi ada faktor yang menghambat persepak bolaan Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara lain. “Coba Anda lihat mengapa Korea Selatan dan Jepang bisa maju persepak-bolaannya. Itu karena dia memiliki fasilitas yang sangat mendukung dalam usaha pembibitan pemain muda,” ujarnya menjelaskan faktor minus sepak bola Indonesia.

Fasilitas pulalah yang dinilai McMahon menjadi jarak sepak bola Indonesia dengan Inggris. “Selama fasilitas yang anda miliki belum mendukung saya kira akan sangat sulit sepak bola anda maju. Maaf sekali lagi, pemain Indonesia belum ada yang pantas bermain di sepak bola level atas seperti Inggris” ujarnya gamblang.

Perkataan yang menjadi penegas mengenai kesenjangan kualitas sepak bola Indonesia di dunia. Piala yang hadir di lantai lima gedung PRJ itu pun seakan menjadi ironi jika melongok pemandangan di balik kaca di lantai lima gedung.

Sebuah tanah lapang yang tidak layak ibarat menjadi potret kualitas dan kondisi persepak-bolaan Indonesia. Sepak bola nasional pun jadi buah barang rapuh, layaknya dua tiang bambo yang tersok seok di atas bidang tanah di Kemayoran Raya. “karena itu mulai lah benahi fasilitas dan bibit pemain muda,” pungkas Robson memberi saran bagi kebangkitan sepak bola nasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement