Kamis 01 Nov 2012 21:11 WIB

ICW Beberkan Persoalan Mendasar Seleksi Hakim Tipikor

Rep: Asep Wijaya/ Red: Ajeng Ritzki Pitakasari
pengadilan tipikor
Foto: antara
pengadilan tipikor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pengadilan Tipikor tidak hanya berada di ibukota. Tempat pengadil bagi para terdakwa korupsi itu telah tersebar di 33 provinsi di Indonesia. dan dapat memberikan keadilan kepada publik dan terdakwa itu sendiri.

Pernyataan itu disampaikan Peneliti Hukum dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Diansyah, saat menggelar jumpa wartawan di Kantor ICW, Kalibata, Kamis (1/11). Sayangnya, Menurut Febri, ketersebaran jumlah pengadilan itu tidak diimbangi dengan proses seleksi hakim yang baik.

"Masih ada 10 persoalan mendasar pada seleksi itu," ungkap Febri dalam paparan hasil penelitian proses seleksi hakim Pengadilan Tipikor.

Febri menguraikan, ketiadaan cetak biru berkenaan dengan seleksi menempati urutan pertama. Mahkamah Agung (MA) pun, terang dia, mengakui proses seleksi yang berlangsung empat kali tidak memiliki cetak biru yang memberikan gambaran seorang hakim yang baik bisa terpilih.

"Bahkan dari hasil wawancara bisa dipahami bahwa proses seleksi masih mengandalkan metode trial and error," ucap Febri.

Waktu dua tahun bagi MA untuk membentuk pengadilan tipikor di semua provinsi, ucap Febri, dinilai sempit. Satu kali proses seleksi setidaknya membutuhkan waktu lima bulan. Sedangkan MA melakukan empat kali proses seleksi.

Keterbatasan calon hakim ad hoc, masih menurut dia, menjadi persoalan lain. Menurut dia, pada seleksi pertama di tujuh Pengadilan Tinggi, jumlah pelamar hanya 26 orang. Dengan angka tersebut, proses seleksi akhirnya digabungkan di beberapa daerah.

Kondisi yang sama juga terjadi pada seleksi ketiga. Febri mengatakan, delapan Pengadilan Tinggi dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai tempat seleksi karena pelamarnya kurang dari empat orang.

"Masalah lain juga adalah kesulitan memotret indikator yang jelas untuk menyaring calon dengan standar integritas tinggi," ungkap Febri.

Ketiadaan kerja sama antara MA, panitia seleksi dan institusi lain turut menimbulkan persoalan. Padahal, ucap dia, kerja sama tersebut dapat memotret rekam jejak calon agar calon bermasalah tidak lolos.

"Bila dibandingkan dengan pemilihan pimpinan KPK, panitia seleksi bekerjasama dengan sejumlah institusi seperti: Dirjen AHU, PPATK, Ditjen Pajak, BIN, dan masyarakat sipil," papar Febri.

Kemudian, lanjut Febri, panitia seleksi kerapkali menilai laporan PPATK tidak diperlukan karena LHKPN sudah cukup memadai. Pelibatan masyarakat sipil, tutur dia, juga belum maksimal. Ditambah lagi, pelatihan hakim ad hoc terpilih hanya dilakukan selama dua minggu.

Dua masalah lain, ucap Febri, berkaitan dengan sistem sertifikasi Hakim Tipikor dan rangking yang belum menjamin komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi. Buktinya, salah satu hakim yang mendapatkan sertifikasi hakim tipikor kemudian ditangkap KPK terkait perkara kepailitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Terakhir, papar Febri, ketua dan wakil ketua pengadilan negeri setempat malah tidak membutuhkan sertifikasi hakim Tipikor. Mereka bisa langsung menjadi ketua dan wakil ketua karena jabatannya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement