Jumat 17 May 2013 08:12 WIB

Penyelenggara Negara Berbasis Kejujuran

Red: Heri Ruslan
Panitia menunjukan stiker bertema kejujuran yang dibagikan saat Deklarasi Koalisi Masyarakat Pendukung Kejujuran di aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (16/6). Acara deklarasi tersebut terinspirasi dari kejujuran Siami.
Foto: Antara/Fanny Octavianus
Panitia menunjukan stiker bertema kejujuran yang dibagikan saat Deklarasi Koalisi Masyarakat Pendukung Kejujuran di aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (16/6). Acara deklarasi tersebut terinspirasi dari kejujuran Siami.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Dr HM Harry Mulya Zein

    

Komitmen Membangun Akhlak yang mulya  segenap  para Penyelenggara Negara tidak dapat ditawar-tawar lagi, pertarungan para elite partai politik dalam meraih simpati rakyat pada pemilu 2014 mendatang terus diupayakan.

Tentunya upaya itu akan sia-sia ketika kelak para elit politik sudah menjadi penguasa lupa akan janji-janjinya. Rakyat akan tersakiti dan kecewa pada saat mendapatkan kekuasaan serta menjalankan kekuasaan tersebut tidak jujur dan amanah.

           

Jika semua itu terjadi, masyarakat, para penyelenggara negara,  dan bangsa yang sudah tidak mengutamakan kejujuran dalam melakukan pekerjaannya dapat dipastikan akan mengalami kehancuran.

Karena itu, kejujuran adalah dasar dari kehidupan keluarga, masyarakat, dan bangsa. Kejujuran adalah prasyarat utama pertumbuhan dan perkembangan masyarakat yang berlandaskan prinsip saling percaya, kasih sayang, dan tolong menolong. Kejujuran adalah inti dari akhlak yang merupakan salah satu tujuan dari diutusnya Rasulullah oleh Allah SWT.

Hakikat kejujuran ialah mengatakan sesuatu dengan jujur di tempat (situasi) yang tidak ada sesuatu pun yang menjadi penyelamat kecuali kedustaan. Secara psikologis, kejujuran akan mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya seseorang yang tidak jujur pasti tega melakukan perbuatan serta menutupi kebenaran.

Kedustaan dan ketidakjujuran akan selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya akan mengancam stabilitas sosial. Ketidakjujuran selalu akan melahirkan kepada ketidakadilan, disebabkan karena orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya saja.

Kejujuran juga akan melahirkan penghargaan terhadap hak hak orang lain. Sebab kejujuran sebagaimana yang telah kita uraikan diatas juga akan menumbuhkembangkan kecintaan terhadap kebenaran, keadilan dan kedisiplinan dalam hidup dan bekerja.

Kejujuran juga merupakan pintu masuk terciptanya pemerintahan bersih. Tanpa adanya prinsip kejujuran dalam bekerja, sangat mustahil clean and good government akan tercipta. Kejujuran pula yang membuat tiga pilar dari clean government seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi mudah terwujud.

Dalam sistem transparansi terdapat terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi terkait-seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang anda (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab).

Akuntabilitas yakni, kapasitas suatu instansi pemerintahan untuk bertanggung gugat atas keberhasilan maupun kegagalannya dalam melaksanakan misinya dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ditetapkan secara periodik. Artinya, setiap instansi pemerintah mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan kepadanya, mulai dari tahap perencanaan, implementasi, sampai pada pemantauan dan evaluasi.

Sementara partisipasi merupakan perwujudan dari berubahnya paradigma mengenai peran masyarakat dalam pembangunan. Dengan prinsip kejujuran dalam bekerja, setiap aparatur pemerintah memandang bahwa masyarakat bukan sekadar penerima manfaat yang hanya diberikan informasi secara sepihak, akan tetapi turut disertakan untuk mengawasi. Dalam literatur sejarah Islam, hal ini sudah dilakukan ketika Khalifah Abu Bakar Asshidiq ra dilantik menjadi pemimpin pengganti Nabi Muhammad SAW.

Pada kitab al-Bidayah wa an-Nihayah, bab Masa Khulafaur Rasyidin, karya Ibnu Katsir, selepas dibaiat, Khalifah Abu Bakar Assidiq mulai berpidato setelah memuji Allah Pemilik segala pujian, ‘Amma ba’du, “Para hadirin sekalian, sesungguhnya aku telah terpilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik. Maka jika aku berbuat kebaikan bantulah aku. Dan jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku. Kejujuran adalah amanah, sementara dusta adalah suatu pengkhianatan."

Pidato Abu Bakar ra membuktikan bahwa seorang pemimpin (juga aparatur negara) harus memberikan kesempatan untuk saling mengingatkan ketika terjadi kesalahan (kurang tepat sasaran) dan saling membantu (partisipasi) dalam menjalankan program yang baik.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement