Selasa 21 May 2013 08:44 WIB

Fakta Kemiskinan Kontradiktif

Red: Zaky Al Hamzah
Pengentasan kemiskinan masih jauh panggang dari api (ilustrasi).
Foto: globalmuslim.web.id
Pengentasan kemiskinan masih jauh panggang dari api (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) mengaku adanya penambahan daerah tertinggal akibat bencana alam dan pemekaran wilayah. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance Eko Listyanto menilai, penambahan daerah tertinggal kontradiktif dengan klaim pemerintah terkait penurunan jumlah penduduk miskin.

“Itu dua fakta yang kontradiktif.  Di satu sisi, pemerintah bilang kemiskinan turun. Sementara, di sisi lain daerah tertinggal bertambah,” ujar Eko kepada Republika, Senin (20/5). 

Kementerian PDT menyebutkan, sampai saat ini 69 kabupaten/kota telah berhasil dientaskan dari 123 kabupaten/kota. Namun, di sisi lain muncul daerah-daerah tertinggal baru sebanyak 20 hingga 25 daerah akibat adanya bencana alam dan pemekaran wilayah. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2012 mencapai 28,59 juta orang. Beberapa waktu lalu, Kepala BPS Suryamin mengatakan, jumlah penduduk miskin berkurang dari survei sebelumnya yang dilakukan bulan Maret, yakni mencapai 29,13 juta orang. 

Selama periode Maret-September, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan berkurang 0,14 juta orang dari semula 10,65 juta orang pada Maret menjadi 10,51 juta orang. Sedangkan di pedesaan, jumlahnya berkurang 0,4 juta orang dari 18,48 juta pada Maret menjadi 18,08 juta pada September.

Penghitungan oleh BPS telah menggunakan konsep penghitungan jumlah orang miskin yang sama sejak 1998. Jumlah penduduk miskin yang tercatat didasarkan pada pendapatan per kapita Rp 259.520. Angka ini meningkat dengan garis kemiskinan pada Maret sebesar Rp 248.707 atau naik sekitar 4,35 persen.

Secara total, Eko menyatakan, memang ada penurunan garis kemiskinan di sejumlah daerah. Namun, ada masalah lain berupa ketimpangan, terutama di wilayah timur Indonesia. Apabila ditilik dari porsi datanya, Eko menyebutkan, gambaran angka kemiskinan mengalami penurunan, namun tidak merata. 

“Ini semakin membuktikan pembangunan yang dilakukan pemerintah berorientasi pertumbuhan, tapi kesenjangan antardaerah dengan kontribusi pertumbuhannya tinggi dengan daerah yang kontribusi pertumbuhannya rendah makin terlihat,” ujar Eko. 

Di sisi lain, Eko menambahkan, kondisi yang kontradiktif itu juga membenarkan indeks ratio Gini (distribusi pendapatan) yang semakin membesar hingga kini, berada di angka 0,41. Pemerintah dinilai terlalu bangga dengan pertumbuhan ekonomi di atas enam persen. Akan tetapi, pertumbuhan yang tinggi memiliki kualitas yang rendah. n muhammad iqbal ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement