Jumat 19 Jul 2013 08:54 WIB

Dilarang Puasa, Muslim Uighur Masuki Masa Kelam

Red: Zaky Al Hamzah
Warga Muslim Uighur berjalan melintas di depan tentara yang berjaga di kawasan Xinjiang Cina.
Foto: AP
Warga Muslim Uighur berjalan melintas di depan tentara yang berjaga di kawasan Xinjiang Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG -- Aturan represif Pemerintah Provinsi Xinjiang, Cina, yang melarang Muslim Uighur berpuasa di daerahnya terus berlanjut. Pemerintah bersama militer Cina masih melakukan gangguan kepada Muslim Uighur yang sedang berpuasa. Hal ini menjadi perlakuan paling diskriminatif bagi Muslim Uighur.

"Muslim Uighur sedang mengalami masa kelam dan tersulit," kata aktivis Muslim di Minzu University of China, Beijing, Ilham Tohti, kepada Financial Times, Selasa (16/7). Ilham mengatakan, militer dengan sokongan pemerintah mencengkeram komunitas Muslim Uighur untuk dimusnahkan.

Secara perlahan, kata dia, aturan larangan puasa juga memasukkan klausul larangan mengadakan diskusi keagamaan selama Ramadhan. Tidak cukup dengan aturan itu, pemerintah juga melarang setiap Muslim dewasa melakukan ibadah shalat berjamaah dan mendatangi masjid-masjid serta bergerombol.

Menurut Ilham, yang sudah beberapa kali keluar-masuk penjara karena bersikap kritis kepada pemerintah, pembatasan atas kebebasan menjalankan ibadah bagi Muslim Uighur bisa menjadi bumerang dan malah meradikalisasi mereka. Jika itu terjadi, keamanan di wilayah tersebut menjadi taruhannya. "Agama akan makin tumbuh dengan adanya tindakan represif," ujar Ilham.

Peraturan represif bagi Muslim Uighur itu mendadak disiarkan sejak Muslim minoritas itu akan menjemput bulan suci Ramadhan. Di beberapa desa, siswa-siswi Muslim dipaksa makan siang ketika sedang berpuasa. Alasan kesehatan menjadi dasar paksaan itu. Di tempat lain, militer menyatroni rumah-rumah Muslim dan memaksa mereka makan siang.

''Kami sudah dipaksa (oleh militer pemerintah). Situasi sekarang adalah darurat militer,'' kata seorang perempuan Muslim Uighur di Kota Karamay kepada Radio Free Asia (RFA). Sumber itu mengatakan, tidak tahu kapan pengekangan terhadap mereka dicabut.

Situasi mencekam masih terasa di Kota Karamay. Ribuan personel militer diterjunkan untuk mengamankan wilayah itu dari ancaman kelompok tak dikenal. Sedikitnya 64 orang tewas saat itu. Kelompok tak dikenal itu menyerang Kantor Pemerintahan di Prefektur Turpan Lukchun, akhir Juni lalu.

Di tempat tersebut, 46 orang tewas. Kebanyakan yang tewas adalah Muslim. RFA mengindikasikan, serangan itu untuk mengingatkan tragedi mematikan antara etnis Han dan Muslim Uighur. Dua etnis ini pernah bertikai pada 2009. Tidak kurang dari 200 orang berakhir di liang kubur dan 600 lainnya luka serius.

Sejak saat itu, militer menjadikan wilayah di dekat perbatasan antara Cina, Mongolia, Kazakhstan, dan Kirgiztan itu sebagai zona darurat militer. Tidak ada data pasti berapa jumlah populasi Muslim Uighur di Cina. Namun, di Provinsi Xinjiang merupakan wilayah dengan populasi Muslim Uighur terbesar.

Hampir seratus persen masyarakat di perbatasan itu pemeluk Islam hasil akulturasi budaya di kawasan Asia Tengah. Gesekan dengan etnis Han diakibatkan proyek Pemerintahan Komunis di Beijing. Tirai Bambu berusaha menyulap wilayah itu dengan menggantikan dominasi Muslim Uighur dengan etnis Han. Orang-orang Han adalah etnis asli Cina daratan.

Orang-orang Han mulai berbondong pindah ke Xinjiang sejak 1940-an. RFA melaporkan, saat ini proporsi etnis Han mencapai 40 persen dari total populasi di Xinjiang. Muslim Uighur menuduh langkah pemerintah itu untuk melenyapkan Muslim Uighur dari wilayah daratan Cina.

Pemimpin Muslim Uighur Rabiya Kadir mengatakan, aturan baru Pemerintah Cina tidak mengherankan. Dia menyerukan agar Muslim Uighur dapat mempertahankan hak untuk menjalankan praktik keagamaannya. ''Meraka (Muslim Uighur) tidak akan kehilangan agama mereka meskipun dihambat sedemikian rupa,'' ujar Rabiya.

Anggota Komite Politbiro Partai Komunis Cina (PKC) Yu Zhengsheng menuduh aksi provokasi Muslim Uighur dibantu kelompok lain. PKC memasukkan Muslim Uighur sebagai kelompok separatis dan teroris. Status darurat militer di Xinjiang disebutnya untuk menjawab tantangan terorisme itu.

Menurut Bequelin dari Human Rights Watch, Beijing melakukan tindakan represif itu pada Ramadhan untuk mengetes loyalitas Muslim Uighur kepada Partai Komunis Cina. "(Pemerintah) sejatinya tidak memercayai (loyalitas) Uighur, termasuk anggota Partai Uighur," kata Bequelin. Sebaliknya, Muslim di bagian lain Cina bebas menjalankan ajaran Islam tanpa intervensi pemerintah. n bambang noroyono ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement