Rabu 14 Aug 2013 02:54 WIB

Cina Hukum Mati Dua Muslim Uighur

Red: Zaky Al Hamzah
Dua orang Muslim Uighur di Xinjiang melintas di depan parade militer Cina.
Foto: AP
Dua orang Muslim Uighur di Xinjiang melintas di depan parade militer Cina.

REPUBLIKA.CO.ID, XINJIANG - Pengadilan Distrik Kashgar, Provinsi Xinjiang, Cina, Senin (12/8), menjatuhkan vonis mati kepada dua Muslim Uighur. Vonis tersebut dijatuhkan pascakerusuhan yang melanda provinsi di bagian barat Cina itu.

Seperti dilaporkan kantor berita Cina, Xinhua, Selasa (13/8), dua terpidana mati itu bernama Musa Hesen dan Rehman Hupur. Mereka dituduh sebagai gembong di balik aksi-aksi teror di wilayah itu. Selain menjatuhkan hukuman mati, pengadilan juga menjatuhkan hukuman penjara yang lamanya berkisar antara sembilan tahun hingga seumur hidup terhadap tiga orang lainnya yang dituduh terlibat dalam kerusuhan tersebut.

Dalam kerusuhan yang terjadi April lalu itu, sebanyak 21 orang tewas akibat bentrokan antara aparat kepolisian dan penduduk setempat yang melibatkan penggunaan kampak, pisau, dan senapan. Tak hanya menewaskan warga sipil, kerusuhan itu juga merenggut nyawa 15 petugas keamanan. Kerusuhan semacam ini sebenarnya bukan hal baru di Xinjiang. Dalam berbagai kerusuhan yang pernah terjadi, pemerintah dan aparat biasanya menyalahkan warga Muslim sebagai pelaku ataupun dalang kerusuhan.

Dalam kerusuhan pada April itu, Hesen dituduh sebagai otak atau dalang kerusuhan dan pembunuhan. Sedangkan, Hupur didakwa atas keterlibatannya membunuh aparat keamanan saat kerusuhan  terjadi. “Mereka mengakui semua perbuatan yang dituduhkan,” demikian pernyataan Pengadilan Distrik Kashgar.

Pengadilan yang sama juga menyeret sejumlah tokoh Muslim Uighur lainnya. Salah seorang di antaranya adalah Muhammad Qasim, kerabat Hesen ini dituding sebagai tokoh yang aktif mempromosikan terorisme. Ia pun diganjar hukuman penjara seumur hidup. Dalam berkas dakwaan, Qasim dituduh menyebarluaskan permusuhan lewat aktivitas dakwahnya. Penuntut juga mengatakan, Qasim melakukan kegiatan keagamaan yang terlarang. Sementara, dua terdakwa lainnya divonis sembilan tahun penjara.

New York Times melaporkan, Pemerintah Cina menerapkan kontrol ketat terhadap kelompok Muslim Uighur. Kelompok minoritas di Provinsi Xinjiang itu sejak lama menghadapi penindasan dari pihak pemerintah dan kelompok etnis mayoritas, yakni etnis Han.

Pemerintah Cina pun berupaya menyingkirkan keberadaan Muslim Uighur di Xinjiang. Salah satu caranya adalah dengan menggiring orang-orang etnis Han dari provinsi lain untuk tinggal di Xinjiang. Harapannya, lama-kelamaan Muslim Uighur akan terdesak dan habis.

Militer Cina pun menetapkan Provinsi Xinjiang sebagai daerah operasi militer. Jam malam diberlakukan. Ramadhan lalu, pemerintah mengeluarkan aturan yang menekan kehidupan beragama warga Muslim. Mereka dilarang berpuasa dan beribadah di masjid.

Masyarakat internasional telah berkali-kali mengecam Cina atas tindakan kerasnya terhadap Muslim Uighur di Xinjiang. Bahkan, Cina disebut-sebut telah melakukan genosida (pemberangusan etnis). Namun, Cina melawan kecaman itu dengan mengatakan apa yang dilakukan Muslim Uighur adalah terorisme. “Kami harus tegas untuk memberangus mereka (Muslim Uighur). Kami keras melawan terorisme dan pengganggu stabilitas,” ujar Sekretaris Partai Komunis Cina (PKC) di Provinsi Xinjiang, seperti dilansir New York Times, Selasa (13/8).

Berbahasa Turki

Sehari-hari, orang-orang Uighur berkomunikasi dalam bahasa Turki. Karena itu, PM Turki Recep Tayyip Erdogan menjadi tokoh dunia yang paling keras melontarkan kecaman terhadap Cina atas kebijakan represifnya terhadap Muslim Uighur. Menurut Erdogan, apa yang terjadi di Xinjiang merupakan pembantaian.  

Orang-orang Uighur di pengasingan menyatakan, aparat keamanan Cina kerap kali bertindak berlebihan atas unjuk rasa damai yang digelar warga Muslim. Untuk membubarkan unjuk rasa, aparat tak segan menggunakan kekuatan mematikan.

Bersama Tibet, kini Xinjiang merupakan salah satu kawasan paling rawan konflik di Cina. Di kedua wilayah itu, Pemerintah Cina berusaha mengendalikan kehidupan beragama dan kebudayaan sambil menjanjikan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran.

Beijing tak ingin kehilangan kendali atas wilayah itu yang berbatasan dengan Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India. Selain secara geografis sangat strategis, wilayah itu juga kaya cadangan minyak serta merupakan daerah penghasil gas alam terbesar di Cina. n bambang noroyono ed: wachidah handasah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement