Senin 14 Oct 2013 17:47 WIB

Tuah Kata-Kata dan Khasiat Teladan Indra Sjafri

Red: Heri Ruslan
Indra Sjafri
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Indra Sjafri

REPUBLIKA.CO.ID,  Kata-kata mengajarkan, teladanlah yang membimbing (verba docent, exempla trahunt).

Inilah rangkuman dari logika sukses Indra Sjafri bersama dengan timnas Indonesia U-19.

 

Tuah kata-kata dan khasiat dari teladan kontan terbukti. Jebret...Evan Dimas dan kawan-kawan melenggang ke babak final Piala Asia Myanmar 2014 setelah menundukkan Korea Selatan 3-2 di Gelora Bung Karno, Sabtu (12/10). Tiga gol dijaringkan oleh Evan Dimas.

 

"Sudah saya katakan bahwa kita harus percaya diri," kata pelatih Indra Sjafri dalam wawancara televisi. "Siapa bilang formasi 4-3-3 tradisional banget. Di daerah-daerah, kita punya stok pemain sayap yang berlimpah. Ini yang kita ingin terus gali," kata mantan pemain PSP Padang itu.

 

Selain kepercayaan diri, logika Indra Sjafri mengerucut kepada keinginan dan ketekunan turun ke daerah-daerah mencari bibit pemain bertalenta.

 

Ia menggenapi logika bahwa keanekaragaman adalah kekayaan Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Bahasa populernya, Indra Sjafri "blusukan" untuk melihat dan mencari sendiri para pemain berbakat di seluruh pelosok Nusantara.

 

Selama sembilan bulan sepanjang tahun 2012-2013, ia menyeleksi 60 pemain dari pelosok Indonesia. Selain tim yang menyambangi daerah, pelatih aktif datang ke sekitar 30 daerah di Indonesia.

 

Indra bukan tanpa hambatan. Ia jelas-jelas ingin keluar dari kepompong praduga bahwa pusat atau kota selalu hebat, sementara daerah selalu terbelakang. Daerah berjuluk "ndeso" atau kampungan; pusat atau kota berlabel "supra-modern".

 

Logika Indra Sjafri adalah logika turba (turun ke bawah). Ia memberangus kebiasaan dari para petinggi sepak bola nasional yang ingin memperoleh hasil secara instan. Disebut instan, karena kebijakan seperti itu ingin cepat-cepat memanen tanpa mau menanam dan merawat secara tekun berkesinambungan.

 

Alhasil, didatangkanlah sejumlah pemain keturunan Indonesia yang merumput di sejumlah klub Belanda dengan mengandalkan program naturalisasi.

 

Selain itu, berbondong-bondong pemain asing, baik dari sejumlah negara Afrika dan Eropa, maupun Korea Selatan mencari makan di sejumlah klub profesional untuk berlaga di liga Indonesia.

 

Secara pragmatis, saatnya mengoreksi kebijakan instan para petinggi sepak bola nasional. Bukankah timnas Indonesia U-19 mampu menyabet hasil ganda dalam kurun waktu dua bulan terakhir? Satu gelar juara Piala AFF U-19 dan satu lagi, Garuda Jaya lolos ke putaran final ke putaran final Piala Asia 2014 di Myanmar.

 

Secara lugas, boleh dikatakan bahwa kedua sukses timnas Indonesia U-19 itu dicapai tidak dengan kebijakan pemain naturalisasi, dan tidak dengan memasukkan pemain asing yang berlaga di berbagai klub di liga Indonesia.

 

Logika di balik serba luar negeri atau serba naturalisasi itu, yakni rasa minder di hadapan kekuatan asing kemudian bersedia berkongsi-kongsi dengan kekuatan asing. Semuanya itu disuburkan oleh rasa tidak percaya diri kepada kemampuan bangsa sendiri.

 

Sepak bola Indonesia mengalami paceklik sukses karena jauh dari tekad untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), sebagaimana pernah dihidup-hidupkan oleh salah satu proklamator Indonesia, Ir. Soekarno.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement