Kamis 24 Oct 2013 15:37 WIB

HKI Keluhkan Aturan Perluasan Kawasan Industri dan Pembatasan HGB

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Nidia Zuraya
Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur
Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Kawasan Industri (HKI) mengeluhkan masalah peraturan menteri agraria yaitu pembatasan perluasan kawasan industri dan pembatasan jangka waktu Hak Guna Bangunan (HGB).

Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri (HKI) Sani Iskandar mengatakan, ada dua masalah pertanahan yang dipersoalkan oleh para pengusaha yang ada di kawasan industri. Persoalan pertama, yaitu peraturan agraria mengenai pembatasan perluasan kawasan industri yang memuat ketentuan luas kawasan industri maksimal 400 hektare area (ha) per perusahaan tiap provinsi, atau luas keseluruhan yaitu 2 ribu ha di seluruh wilayah Indonesia. Namun peraturan itu tidak berlaku untuk perusahaan publik seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).

‘’Sehingga pengusaha yang mengajukan izin perluasan kawasan industri mendapat ganjalan. Keputusan peraturan agrarian itu menjadi tidak jelas,’’ katanya saat pembukaan rapat kerja nasional (rakernas) HKI ke-15 yang mengambil tema 'Hukum Pertanahan dan Tantangan Investasi Global (Menyongsong RUU Pertanahan)' di Jakarta, Kamis (24/10)

Ketika pihaknya mengusulkan untuk dibuatnya  RUU pertanahan supaya aturan perluasan kawasan industry menjadi lebih longgar, ternyata pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia justru membahas wacana untuk lebih membatasi perluasan kawasan industri jadi maksimal 200 ha per provinsi. ‘’Ini yang kami khawatirkan. Mau buat kawasan industri seperti apa jika perluasan kawasan industri dibatasi hanya 200 ha atau  400 ha per perusahaan setiap provinsi?,’’ ujarnya.

Dia mencontohkan, pengembangan satu perusahaan industri otomotif memerlukan lahan hingga 250 ha di setiap kawasan indutri. Lippo. Dia menyebutkan,industri otomotif seperti  Toyota, Suzuki membutuhkan lahan sedikitnya 150 ha di setiap kawasan industri. Padahal pihaknya perlu untuk memperluas kawasan industri untuk kepentingan masa depan perusahaan bersangkutan di tahun-tahun mendatang. 

‘’Aturan perluasan kawasan industri jadi hal yang tidak logis  dan akibatnya harga tanah di kawasan industri jadi tinggi,’’ tuturnya. Di satu sisi, pembangunan kawasan industri membutuhkan investasi yang besar. Dia mencontohkan , para pengusaha memmbiayai ongkos pemeliharaan kawasan industri di koridor Jakarta-Cikampek.

Padahal, kata Sani, perluasan kawasan industri sejatinya tidak perlu ada yang dikhawatirkan karena pihaknya para pengusaha tidak menggunakan semua lahan kawasan industry. Lebih lanjut dia mengatakan, para pengusaha di kawasan industri selalu menempatkan komposisi  lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 10 persen dan 20 persen untuk jalan hingga air bersih. Sehingga tidak perlu ada yang dikhawatirkan. 

Pihaknya memberi masukan, seharusnya perluasan kawasan industri berdasarkan keputusan pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah di wilayah setempat yang menangan tata wilayah. ‘’Aturannya tidak perlu diatur oleh pusat,’’ ucapnya.

Persoalan pertanahan yang pihaknya permasalahkan yaitu pembatasan jangka waktu HGB di kawasan industri.  Dia menjelaskan, selama ini HGB  diberikan untuk jangka waktu maksimal 30 tahun , dan dapat diperpanjang selama 2 tahun. ‘’Ini menimbulkan penafsiran yang berbeda. Selain itu, ini mempengaruhi kepastian investasi oleh investor,’’ ucapnya.

Menurutnya,  para investor tertarik untuk berinvestasi di negara-negara lain seperti Cina karena HGB nya bisa selama ratusan tahun. Namun di HGB di Indonesia maksimal hanya 30 tahun sehingga kepastian investasinya lebih kecil. Sani mencontohkan, HGB di kawasan industri di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat seperti  MM hingga Jababeka kini banyak yang dibawah 10 tahun. Sehingga investor yang berkeinginan berinvestasi menjadi kurang tertarik karena jangka waktu HGB yang tinggal sedikit.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement