Jumat 08 Nov 2013 06:41 WIB

Alma, Menyingkap Kepahlawanan Manusia Biasa

Red: M Irwan Ariefyanto
Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh Nasihin Masha

Dwisca Kartinia memiliki naluri ibu yang kuat. “Itu naluri saya sebagai ibu,” katanya. Namun Nia, begitu ibu 54 tahun ini biasa disapa, lebih dari seorang ibu. Ia seorang berhati emas. Karyawan di BUMN PGN ini seorang pahlawan, pahlawan kemanusiaan. Sejak menerima pesan berantai di blackberry dan dari mendengar radio, ia membuka media sosial di internet. Ia memandangi foto Alma Aini Hakim, bocah delapan tahun. Mata tajam dan rambut kriwilnya memang menggemaskan. Karena itu, ia bertekad untuk menelusuri dari titik awal: Monas. Memang tak begitu jauh dari kantornya. Rabu (30/10) itu ia mewujudkan tekadnya. Satu setengah jam ia blusukan di jantung Indonesia ini.

Sekitar pukul 18.00, ia mendapati anak perempuan yang ceria. Bersama Suci Ramadani (5 tahun), ia sedang bermain sepeda. Sesuatu yang baru. Karena ketika pertama ditemukan Aja Suharja (51 tahun), Alma belum bisa bersepeda. Hari itu, tepat lima hari ia hilang. Pada Sabtu (29/10) ia terpisah dari tante dan kakaknya. Ia sedang membeli gorengan, sedangkan tantenya sibuk mengurus kehilangan laptop dan handphonenya. Suasana Monas hari itu memang jauh lebih ramai dari biasanya. Hari itu ada lomba maraton.

Berita kehilangan Alma mengejutkan publik ketika Roy Julian Hakim, ayah Alma, menulis di akun Facebooknya tentang kehilangan anaknya pada Selasa (29/10). Dari situ, pesan segera beredar. Tak hanya di Facebook tapi juga di Twitter, messenger, maupun di media-media mainstream seperti web, koran, radio, dan televisi. Kepedulian publik demikian gempita. Walau ada saja yang skeptis. Maklum media sosial sering dilintasi berita hoax, canda, maupun penipuan. Namun, kegempitaan itu tak menghampiri Aja. Ia hanya orang kecil sekecil-kecilnya. Ia hanyalah manusia yang menyewakan sepeda di keramaian Monas, hanya beberapa langkah dari Istana Negara dan kantor gubernur DKI. Ia tinggal di tenda bersama Suci, anaknya, di rerimbunan kawasan Monas. Pria asli Rengasdengklok, Karawang, itu tak cukup memiliki uang untuk bisa mendengar berita. Ia juga tak cukup memiliki nyali dan pemahaman untuk melaporkan penemuan Alma ke polisi. Aja adalah potret sempurna ketakberdayaan.

Namun, Aja adalah kemuliaan. Kemiskinannya tak membuat hatinya hitam. Kita cukup banyak mendengar kejamnya kota-kota besar: penjualan dan penculikan anak-anak, juga perbudakan anak-anak. Alih-alih ia memberi pakaian, makanan, dan tempat tinggal. Ia juga memberi kedamaian dan kehangatan sebuah keluarga. Ia mengajari Alma hingga bisa bersepeda. Namun, Alma juga pribadi yang kuat. Ia tak merengek, tak kalut, dan tak tertekan. Ia kerasan. Ia menolak diantar pulang, walau Aja sudah meminjam uang untuk ongkos bajaj. Tampak ada 'kerumitan' di keluarga Alma. Sebuah potret sosial yang tak sederhana.

Kasus Alma ini menyadarkan kita semua. Sungguh salah jika kita begitu pesimistis dan skeptis terhadap masa depan negeri ini. Ada begitu banyak kepedulian, kehangatan, dan kebeningan. Bahkan semua itu beresonansi, bersisambut. Tak berjalan sendiri-sendiri. Ada yang menyebarkan pesan berantai, ada yang memberitakan. Dan, akhirnya, ada yang mengeksekusi. Aja dan Nia adalah puncak-puncak gunung es masa depan Indonesia. Semuanya pahlawan, namun Aja dan Nia adalah penjurunya. Suci pun pahlawan karena keramahan dan persahabatannya. Namun, putihnya Indonesia itu terhalang garis suprastruktur. Mereka tak dipedulikan para pemimpinnya. Tak ada pengakuan, apalagi penghargaan, untuk Aja dan Nia. Tak ada apresiasi dari lembaga-lembaga resmi, dan dari lembaga-lembaga sosial maupun individu-individu yang berdaya. Sehingga, kisah Alma kemudian berlalu begitu saja. Seolah peristiwa itu tak cukup bermakna. Tidak, ini adalah “penemuan kembali” keindonesiaan kita. Inilah jati diri bangsa ini. Inilah cita-cita luhur para pendiri bangsa: membangun kemanusiaan dan persatuan. Jangan biarkan kasus Alma berlalu begitu saja. Mari kita tunjukkan.

Namun, kita harus akui kisah ini tak melulu menampilkan sisi heroik dan optimistis. Ada banyak catatan. Misalnya, kita mempertanyakan kinerja polisi, pengelola Monas, dan dinas terkait di Pemprov DKI. Alma masih ada di sekitar Monas. Tak pernah ke manapun. Lalu mengapa harus menunggu lima hari untuk menemukan Alma? Mengapa harus seorang awam seperti Nia yang harus menemukan? Bagaimana jika Alma ditemukan orang jahat?

Sekali lagi ini karena Aja dan Nia. “Saya sengaja nyari Alma karena dapat broadcast BBM dan dengerin radio. Setelah pulang kerja, saya cari sekitar satu setengah jam. Akhirnya ketemu bocah sedang bermain sepeda,” kata Nia. “Saya perhatikan dari jauh, anak saya sedang bermain dengan seorang anak perempuan. Anak saya memang cepat akrab seperti biasanya. Namun, kok ini sampai larut malam tetap bermain dengan Suci. Saya beri makan, pakaian, tempat tinggal, dan mengajarinya bersepeda,” kata Aja.

Saya jadi teringat status Facebook sahabat saya, seorang wartawan, Enton Supriyatna Sind: “Beruntunglah Indonesia. Banyak warganya yang baik, bisa mengambil alih peran ketika pemerintah lupa menjalankannya.” Kekuatan warga jauh lebih dahsyat dari kekuatan apa pun. Sudah saatnya kita kembali kepada kesadaran ini, seperti ketika para pendiri bangsa bersatu memerdekakan negeri ini. Kita bisa mengambil alih peran di segala hal, ketika orang-orang yang diberi amanat justru lalai, abai, bahkan khianat. Warga adalah kekuatan sesungguhnya setiap bangsa. Tanpa warga tak ada tanah air, tak ada negeri. Mari kita mulai, dari titik yang sudah ditunjukkan. Apa yang sedang dilakukan Aja hari ini? Apakah hari ini kau sudah makan? Apakah Suci sudah kau sekolahkan? Nia, kedahsyatan apa lagi yang bisa kau tunjukkan pada negeri ini?

Aja dan Nia adalah ibu pertiwi. Kalian peluk Alma untuk menjadi bukti kesejatian bangsa ini, kesejatian yang kini tertutup kepalsuan para pemimpinnya. Kalian pahlawan. Selamat hari pahlawan, tepat Ahad lusa.

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَنْ لَّمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا اَنْ يَّنْكِحَ الْمُحْصَنٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ فَمِنْ مَّا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ مِّنْ فَتَيٰتِكُمُ الْمُؤْمِنٰتِۗ وَاللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِكُمْ ۗ بَعْضُكُمْ مِّنْۢ بَعْضٍۚ فَانْكِحُوْهُنَّ بِاِذْنِ اَهْلِهِنَّ وَاٰتُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ مُحْصَنٰتٍ غَيْرَ مُسٰفِحٰتٍ وَّلَا مُتَّخِذٰتِ اَخْدَانٍ ۚ فَاِذَآ اُحْصِنَّ فَاِنْ اَتَيْنَ بِفَاحِشَةٍ فَعَلَيْهِنَّ نِصْفُ مَا عَلَى الْمُحْصَنٰتِ مِنَ الْعَذَابِۗ ذٰلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ ۗ وَاَنْ تَصْبِرُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ࣖ
Dan barangsiapa di antara kamu tidak mempunyai biaya untuk menikahi perempuan merdeka yang beriman, maka (dihalalkan menikahi perempuan) yang beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian dari kamu adalah dari sebagian yang lain (sama-sama keturunan Adam-Hawa), karena itu nikahilah mereka dengan izin tuannya dan berilah mereka maskawin yang pantas, karena mereka adalah perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. Apabila mereka telah berumah tangga (bersuami), tetapi melakukan perbuatan keji (zina), maka (hukuman) bagi mereka setengah dari apa (hukuman) perempuan-perempuan merdeka (yang tidak bersuami). (Kebolehan menikahi hamba sahaya) itu, adalah bagi orang-orang yang takut terhadap kesulitan dalam menjaga diri (dari perbuatan zina). Tetapi jika kamu bersabar, itu lebih baik bagimu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

(QS. An-Nisa' ayat 25)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement