Jumat 20 Jun 2014 12:00 WIB

Pengelolaan Dana Haji

Red:

Indonesia merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia,  mendapatkan kuota haji terbanyak sekitar 220 ribu orang per tahun. Semakin meningkatnya kesadaran masyarakat melaksanakan ibadah haji dan terbatasnya kuota haji menyebabkan daftar tunggu (waiting list) menjadi semakin lama berkisar 5-15 tahun.

Harus diakui, mengelola penyelenggaraan haji Indonesia  tidaklah mudah, namun pemerintah (Kemenag) sebagai pelaksana utama penyelenggara haji terus melakukan berbagai perbaikan, antara lain, bekerja sama dengan LPS memberikan penjaminan terhadap dana haji dan secara bertahap memindahkan penempatan dana haji dari perbankan konvensional ke perbankan syariah. Selain itu, mempergunakan nilai manfaat setoran awal untuk perbaikan pelayanan ibadah haji, menjalin kerja sama dengan IDB dalam pembayaran dam, serta meningkatkan kualitas akomodasi jamaah haji Indonesia di Arab Saudi menjadi hotel bintang tiga-bintang lima untuk musim haji tahun 2014.

Perbaikan pengelolaan

Salah satu aspek penting dan krusial penyelenggaraan haji Indonesia adalah  pengelolaan dana haji. Jumlah jamaah haji yang besar dan waiting list yang tinggi menyebabkan akumulasi dana haji sangat besar. Sebagai gambaran, jika besaran setoran awal haji Rp 25 juta/jamaah dan jumlah jamaah haji 220 ribu orang/tahun, total dana haji  Rp 6,6 triliun/tahun. Sampai November 2013 dana setoran awal haji Rp 58 triliun dan Dana Abadi Umat (DAU)  Rp 2,4 triliun. Tahun 2018 dana setoran awal haji diperkirakan  Rp 100 triliun dan DAU diperkirakan Rp 3,1 triliun  (Kemenag, Desember 2013).

Ada beberapa permasalahan dalam pengelolaan dana haji. Pertama, skema atau mekanisme pengelolaan. Dana haji dibagi dua yaitu dana setoran awal (BPIH) dan dana hasil efisiensi. BPIH disetorkan ke rekening menag melalui bank syariah dan/atau bank umum nasional yang ditunjuk dan dikelola oleh menteri dengan mempertimbangkan nilai manfaat, kemudian sebagian dana tersebut diinvestasikan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara. Selanjutnya, nilai manfaat (hasil optimalisasi) tersebut digunakan membayar berbagai pengeluaran operasional jamaah haji di Arab Saudi. Adapun hasil efisiensi penyelenggaraan haji masuk ke rekening DAU dan dimanfaatkan untuk pelayanan ibadah haji, pendidikan dan dakwah, kesehatan, sosial keagamaan, serta pembangunan sarana dan prasarana ibadah.

Selama ini dana haji dikelola atas nama rekening menag. Yang tahu berapa nilai optimalisasi dari dana haji tersebut hanya menag dan atau pejabat/aparat yang terkait dengan pengelolaan dana haji. Para calhaj sebagai pemilik sah dari dana  tersebut tidak pernah tahu berapa  nilai optimalisasi dari dana haji yang mengendap/diinvestasikan tersebut, termasuk seandainya yang bersangkutan mendapat subsidi pembiayaan haji dari hasil optimalisasi tersebut karena berangkat lebih awal dibanding calhaj  lain yang waiting list-nya masih lama. Oleh karena itu, perlu dipikirkan apakah pengelolaan dana haji cukup menggunakan satu rekening atas nama menag seperti sekarang atau perlu dibuat semacam virtual account, sehingga setiap calhaj tahu berapa jumlah dana yang ada pada masing-masing rekening calhaj tersebut.

Kedua, kelembagaan. Selama ini pengelolaan BPIH dilakukan oleh Kemenag, di mana menag selaku Pengguna Anggaran, Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh selalu Kuasa Pengguna Anggaran sekaligus sebagai Bendahara Umum Penyelenggaraan Ibadah Haji, Direktur Pengelolaan Dana Haji selaku Kuasa Bendahara Umum Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Kepala Urusan Haji Indonesia di Arab Saudi selaku Ka Satker merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen pada Kantor Urusan Haji Indonesia di Arab Saudi. Adapun pengelolaan DAU dilakukan oleh Badan Pengelola (BP) DAU di mana menag selaku ketua/penanggung jawab BP DAU. Jadi, baik pengelolaan BPIH maupun DAU sepenuhnya berada di bawah Kemenag.

Oleh karena itu, dari aspek kelembagaan ada tiga alternatif yang perlu dipertimbangkan: (1) tetap mempertahankan kelembagaan seperti sekarang di mana Kemenag berfungsi sebagai regular, eksekutor, dan pengawas. Konsekuensinya segala tanggung jawab dalam pengelolaan dana haji ada di Kemenag; (2) dibentuk lembaga baru semiotonom, seperti  Badan Layanan Umum (BLU) atau Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), di mana Kemenag berfungsi sebagai regulator dan pengawas, sedangkan BLU atau BPKH sebagai eksekutor; dan  (3) dibentuk lembaga otonom (independen) semacam Lembaga Tabung Haji dan bertanggung jawab kepada presiden. Semua pilihan ada konsekuensinya,  ada sisi positif dan negatifnya.

Ketiga, kesesuaian syariah (shariah compliance). Selama ini BPIH maupun DAU  dikelola secara konvensional melalui penempatan di perbankan konvensional dan secara syariah melalui penempatan di perbankan syariah dan investasi di sukuk. Oleh karena dana tersebut diniatkan dan  didekasikan untuk ibadah haji, sepatutnya dana haji dikelola sesuai  prinsip syariah. Dalam konteks tersebut, perlu diperhatikan berbagai akad mulai dari penerimaan setoran awal, penempatan, investasi dan pengeluaran, pemanfaatan hasil efisiensi, dan kerja sama para pihak.

Keempat, regulasi. Pengelolaan dana haji mulai dari penerimaan setoran awal,  penempatan, investasi (pemupukan), pengeluaran, pemanfaatan hasil efisiensi memerlukan payung hukum--regulasi (peraturan perundang-undangan) baik UU, PP, Kepres, PMA, atau Pedoman Dirjen. Dengan regulasi yang baik, komprehensif, dan prudent diharapkan pengelolaan dana haji dapat dilakukan dengan baik, benar, profesional, transparan dan amanah, serta terhindar dari terjadinya dispute (permasalahan hukum).

Kelima, sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor penentu dalam pengelolaan dana haji. Mengelola dana haji yang sangat besar memerlukan jumlah SDM yang cukup dan dengan kualitas yang mempuni, punya kompetensi dan integritas yang baik, inovatif, profesional, amanah, serta tahan godaan. Dengan demikian, diharapkan dapat melakukan tata kelola secara baik dan benar, terhindar dari tindakan KKN serta penyalahgunaan wewenang lainnya, serta dapat mengembangkan dana haji secara halal dan thoyib sehingga memberikan nilai manfaat dan maslahah yang sebesar-besarnya bagi perbaikan kualitas pelayanan haji serta bagi peningkatan kesejahateraan umat, masyarakat, dan bangsa Indonesia. 

Rahmat Hidayat

Alumni Ph D Ekonomi Islam Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement