Jumat 04 Jul 2014 16:00 WIB

Pengadaan Barang dan Jasa Haji

Red:

Mantan dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU)-Anggito Abimanyu mengeluhkan keterbatasan pegawai/birokrat di internal Ditjen PHU-Kemenag dalam mengelola pengadaan pelayanan barang dan jasa bagi jamaah haji Indonesia. Bayangkan anggaran Ditjen PHU setiap tahun dilakukan dengan mekanisme pengadaan sangatlah besar, yakni Rp 8 triliun untuk pengadaan pesawat, pemondokan (di Makkah, Madinah, dan Jeddah), katering di Madinah, Arafah, dan Mina, armada transportasi darat, bongkar muat, katering di asrama, gelang, buku manasik, asuransi, dan lain sebagainya. Belum termasuk anggaran dari APBN Rp 400 miliar dilakukan pengadaan barang dan jasa.

Pengadaan barang dan jasa dengan biaya sebesar itu dipikul 300 pejabat yang mayoritas berasal dari sarjana agama dan sosial. Sepertiga dari anggaran tersebut diadakan di Arab Saudi dengan sistem dan kultur berbeda. Itu semua mengakibatkan rawannya pengadaan barang dan jasa penyelenggaraan ibadah haji terhadap indikasi penyimpangan dan korupsi.

Disamping itu, pengadaan barang dan jasa dalam rangka pelayanan jamaah haji dilakukan setiap tahun dengan waktu hanya dua-tiga bulan sejak BPIH disahkan DPR. Pengguna anggaran dana BPIH adalah Menag dikuasakan kepada Dirjen PHU di tingkat pusat (50 persen dari total anggaran), Kepala Teknis Urusan Haji di Arab Saudi (30 persen), dan Kakanwil Kemenag di Provinsi seluruh Indonesia (20 persen). BPIH bukan uang negara, melainkan karena dikelola pejabat negara, maka pengelolaan keuangan haji menggunakan sistem keuangan negara yang berlaku. UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji tidak dilengkapi regulasi yang memadai bagi Kemenag mengelola BPIH seperti layaknya pengelolaan dana APBN. 

Berbeda dengan kementerian lain yang memiliki anggaran besar, satuan kerja di kementerian-kementerian tersebut ditunjang SDM cukup dan memiliki pejabat pengadaan yang memadai. Di samping itu, pengadaan barang dan jasa dibiayai setoran jamaah haji tidak dialokasikan untuk gaji pegawai, belanja barang, ataupun bantuan sosial. Sementara, besarnya anggaran APBN di kementerian terdapat unsur gaji pegawai, belanja barang, dan bantuan sosial serta sisanya belanja modal. Kerumitan dan kerawanan pengadaan barang dan jasa dalam pelayanan penyelenggaraan ibadah haji diakibatkan ketidakpastian eksternal seperti perubahan mendadak kebijakan pelayanan di Arab Saudi, risiko nilai tukar, dan keterlambatan pengesahan rancangan BPIH di DPR.

Kompleksitas pengadaan

Jenis pengadaan pelayanan haji yang signifikan dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, pengadaan pesawat penerbangan dari embarkasi ke kota tujuan (Jeddah dan Madinah). Indonesia belum memiliki pesawat sendiri sehingga menyewa satu musim dengan sistem carter untuk jamaah 200 ribu/tahun. Pada fase keberangkatan, penumpang penuh, waktu pulang penumpang kosong, begitu sebaliknya. Harga setiap jamaah lebih mahal dibanding pesawat reguler. Maskapai penerbangan yang disewa memiliki standar kelayakan internasional dan penerbangan reguler Indonesia-Arab Saudi. Meskipun diupayakan agar maskapai yang masuk bertambah supaya kompetitif, sampai saat ini ternyata yang mampu secara teknis dan biaya hanya dua, yaitu Garuda dan Saudi Airline.

Kedua, pelayanan di Arab Saudi, pemondokan, transportasi, dan katering. Setiap tahun lebih dari 100 gedung minimal setara hotel bintang 3 di Makkah berkapasitas hampir 160 ribu jamaah diadakan, diverifikasi (kasyfiyah) kelayakannya, dinegosiasi, dan dikontrak selama satu musim. Jumlahnya sesuai kuota, jika kuota tidak dipenuhi, berpotensi kerugian. Karena jarak pemondokan (hotel) jauh dari Masjidil Haram, jamaah  dilayani dengan bus salawat (system shuttle) pulang-pergi dari hotel ke Masjdil Haram.

Hotel yang disewa dilengkapi fasilitas pelayanan ibadah, pelayanan sektor, kesehatan, dan fasilitas ruang makan. Pada 2014 pelayanan sektor dilengkapi fasilitas penampungan kargo barang bawaan jamaah yang dilayani perusahaan kargo nasional. Di Madinah, hotel yang disewa di wilayah Markaziah, jaraknya maksimal 650 meter dari Masjid Nabawi, minimal setara bintang 3 dan 4, juga disediakan, diperiksa kelayakannya, dan siap dikontrak. Hotel-hotel tersebut dilengkapi  pelayanan sektor, kesehatan, dan fasilitas pelayanan kargo barang bawaan. Di Jeddah, diadakan hotel transit minimal setara bintang 3 dan 4. 

Pelayanan katering dengan anggaran katering menjadi 12 riyal per jamaah untuk layanan di Madinah dan 15 riyal per jamaan untuk layanan di Arafah-Mina diadakan dengan perbaikan kualitas, baik dari aspek kesehatan (hygiene) maupun kelengkapan menu. Di samping itu, pada 2014 pelayanan di Arafah-Mina ditingkatkan dengan penambahan jumlah maktab, penyediaan toilet sementara atau portable, dan tambahan angkutan kendaraan bermotor bagi jamaah yang mengalami kelelahan dalam perjalanan dari dan ke Jamarat.

Ketiga, pelayanan di dalam negeri, meliputi pelayanan embarkasi dilaksanakan Kanwil Kemenag yang memiliki embarkasi dan pelayanan petugas (kloter dan nonkloter). Mulai tahun 2013, rekrutmen dan seleksi petugas dilakukan ketat, terutama dari aspek pengalaman dan kompetensi. Mulai tahun ini, juga direncanakan rekrutmen petugas pengamanan untuk pencegahan dan bantuan bagi jamaah tersesat dan telah dipersiapkan sebanyak 50 orang dari unsur tentara angkatan darat, TNI, dan Bareskrim-Polri. Tenaga kesehatan ditambah dengan tenaga medis, tambahan tenaga pengawas transportasi daerah, diperkuat dari unsur perhubungan udara.

Pengadaan barang dan jasa untuk pelayanan haji juga diawasi lebih dari delapan institusi pengawas, yakni Irjen, BPKP, BPK, DPR, DPD, Ombudsman, KPK, dan Komite Pengawas Haji Indonesia (KPHI) serta organisasi masyarakat.

Namun, indikasi kerawanan tetap ada. Perbaikan pelayanan terus dilakukan. Salah satu indikatornya adalah meningkatnya tingkat kepuasan jamaah terhadap pelayanan di Tanah Air dan di Arab Saudi. Ke depan, perbaikan secara fundamental dan menyeluruh (komprehensif) harus terus dilakukan, baik dari sisi organisasi, SDM, regulasi, sistem pengelolaan keuangan, mekanisme pengadaan barang dan jasa, maupun pengawasan. Hal ini agar penyelenggaraan dan pelayanan haji Indonesia dapat dilakukan secara lebih baik, profesional, dan amanah. 

Rahmat Hidayat

Alumni PhD Ekonomi Islam Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement