Berdagang Ketupat dan Bunga Tak Lagi Menguntungkan

Red: Muhammad Hafil

Senin 28 Jul 2014 15:50 WIB

Berburu Ketupat Pedagang menggelar ketupat di Pasar Kanoman, Cirebon, Ahad (27/7). Foto: Wihdan Hidayat/Republika Berburu Ketupat Pedagang menggelar ketupat di Pasar Kanoman, Cirebon, Ahad (27/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Risa Hedahita Putri / Wartawan Republika 

Pagi itu Lebaran hanya satu hari lagi. Masyarakat terlihat memenuhi pasar membawa jinjingan penuh bahan makanan. Beberapa dari mereka nampak juga sudah membawa seikat ketupat.Di hampir semua pasar tradisional Kota Bandung, kini sudah ramai berjajar pedagang ketupat. Kerajinan dari janur kelapa itu memang marak di hari seperti ini. 

Masyarakat Indonesia, di Pulau Jawa khususnya, terbiasa mengisi anyaman ketupat dengan beras. Kemudian ketupat di kukus dalam dandang hingga janur berubah kecoklatan. Beras dalam ketupat serupa nasi padat yang dijadikan pendamping lauk opor ayam.

Namun, kelihatannya jumlah ketupat yang sampai kepada masyarakat tidak sebanding dengan jumlah pedagang ketupat. "Sekarang agak kurang neng, nggak kaya taun lalu," ujar Atim Wahyu, salah seorang penjual ketupat di Pasar Ujungberung, Kota Bandung, Ahad (27/7).

Ia sendiri telah berada di pasar itu bersama dagangannya sejak pukul 03.00 WIB. Sampai pukul 10.00 WIB, baru 300 buah yang terjual. Padahal akunya, di jam yang sama pada tahun sebelumnya ia sudah bersiap untuk pulang.

Atim yang sudah sejak tahun 1980-an berjualan ketupat itu menyediakan 200 ikat bagi para calon pembeli. Satu ikatnya sebanyak 10 ketupat. Ia memberi harga Rp 5000 per ikatnya. Sedang untuk ukuran ketupat yang kecil, hanya Rp 4000. "Dulu seiket bisa laku Rp 10ribu, yang kecil Rp 7000, malah yang gedean bisa Rp 12ribu," katanya.

Ia berujar akan menunggu pelanggan hingga pukul 18.00 WIB. Jika tetap tidak habis, terpaksa ia buang sisa hasil kerajinannya itu. Padahal untuk menghasilkan 2000 buah anyaman ketupat, ia butuh bantuan dua orang lainnya. Bertiga, mereka menganyam ketupat selama dua malam.

Ia pun menduga penurunan jumlah pembeli kali ini ada hubungannya dengan tahun ajaran baru. Masa Lebaran tahun ini bertepatan dengan pemenuhan kebutuhan sekolah bagi masyarakat. "Ya mungkin berebut sama biaya sekolah, saya juga ngrasain neng sekarang lagi nyekolahin anak yang kecil," ujar bapak dua anak itu.

Ia bercerita, ini bukan kali pertama ketupatnya tak laku. Di era krisi moneter, ia pun terpaksa harus membuang ratusan anyaman ketupatnya. 

Hal yang menarik, ternyata bisnis ketupat bukan hanya pengerajin dan pembeli. Dalam bisnis ini pun dikenal tengkulak ketupat. Tengkulak ini, kata Atim, sejak dua minggu menjelang Lebaran pergi ke wilayah Tasikmalaya, Banjar, dan sekitarnya. Mereka berkelana mencari janur kelapa. "Bandung kan jarang pohon kelapa, neng," ujarnya tertawa.

Tengkulak kemudian membawa janur itu ke Cibejog, wilayah di mana Atim tinggal. Tengkulak biasa menjual janur satu ikat seribu helai. Harganya Rp 100ribu. Maka, untuk berjualan ketupat 2000 buah, Atim bermodalkan Rp 200ribu.

Ternyata bukan hanya penjual ketupat yang mengeluh dagangannya tidak laku. Penjual bunga hias yang menjamur di kala menjelang Lebaran pun mengeluh. 

Arom, warga Baleendah, Kabupaten Bandung mengaku hanya saat mendekati Lebaran sana ia berjualan bunga. Ia mengambil stok bunganya dari kawasan Lembang. Sejak pukul 02.00 WIB ia berangkat ke Lembang, subuh ia sudah sampai di Pasar Ujungberung untuk berjualan bunga.

Ia melihat kebanyakan masyarakat paling menyukai bunga sedap malam. Bunga itu sebagai penghias rumah sekaligus penghatus ruangan. Maka ia pun menyediakan bunga jenis itu dalam jumlah yang terbanyak, yaitu 300 batang. "Kalau yang warna-warni paling cuma jadi variasi aja," kata dia.

Arom mengamati, tahun ini tidak banyak masyarakat yang membeli bunga hias. Sejak subuh ia mengaku baru memperoleh Rp 100ribu. Padahal di tahun sebelumnya, Rp 500ribu sudah ia kantongi.

Begitu pun daya beli masyarakat. Bunga sedap malam, ia jual Rp 7000 - Rp 8000 per batang. Dari Lembang per batangnya ia beli seharga Rp 5000. Namun, banyak pembeli menawar harga Rp 5000 per batang.

Arom pun hanya bisa menjual Rp 6000 per batangnya. "Nggak papa lah asal untung dikit, ini juga belum tentu laku semua, yang jelek Rp 4000 aja belum tentu," keluhnya.

Ia yang sudah berjualan bunga sejak tahun 1980-an itu kini ragu apakah dagangannya dapat habis atau tidak. Sebelumnya, pukul 21.00 WIB sampai pukul 22.00 WIB ia sudah bisa tenang, karena bunganya ludes terjual. Ia pun bertekad akan menunggu hingga pukul 00.00 WIB.

Terpopuler