Ahad 31 Aug 2014 17:30 WIB

Tokoh Lokal yang mendunia

Red: operator

Corak sufistik sangat kental di kitab-kitab karangannya.

Jumat (22/8) malam, ribuan jamaah memadati kompleks Pondok Pesantren An nawawi Tanara, Banten, Jawa Barat. Peringatan Haul ke-121 Imam Nawawi al- Bantani tengah berlangsung.Indonesia memang patut berbangga memiliki sosok yang berjuluk Sayyid Ulama Hijaz tersebut.

Karyakarnya mendunia dengan corak pemikirannya yang khas. Pemikiran keagamaannya turut berkontribusi dalam khazanah keislaman di mancanegara.

Menurut Azyumardi Azra dalam buku Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century tertulis, tradisi Islam Suni di Asia Tenggara sangat kuat pada abad 17 hingga pertengahan abad 19. Saat itu, banyak ulama Melayu-Indonesia, Syekh Nawawi salah satunya, yang bermukim, belajar, dan mengajar di Makkah dan Madinah.Mereka mengembangkan ja ring an dengan Muslim Afrika, Asia Selatan, Asia Tengah, dan Asia Tenggara.

Para ulama itu beserta muridnya yang kembali ke Asia Tenggara menjadi kanal penting transmisi Islam dari Timur Tengah. Mereka juga dikenal produktif menghasilkan karya yang berkaitan dengan fikih, tafsir, sufisme, dan sejarah.

Ulama-ulama yang kembali ke Tanah Air mereka mendirikan pondok atau pesantren yang memiliki peran siginifikan bagi Islam. Pesantren men jadi pusat pendidikan, penjaga ke berlangsungan tradisi Islam, dan pusat pengaderan ulama. Melalui pesantren, Islam di Asia Tenggara bisa masuk dalam kehidupan masyarakat secara damai.

Mendudukkan jasa sang tokoh tak bisa dilepaskan dari karya-karyanya. Dalam skripsi "Syekh Nawawi al-Bantani Riwayat Hidup dan Sumbangsihnya Terhadap Islam", Yuyun Rodiana menulis, Syekh Nawawi meng hasilkan tak kurang dari 100 buku yang mencakup berbagai ilmu.

Bahkan, produktivitas Syekh Nawawi disejajarkan dengan Imam Nawawi yang hidup pada 1233-1277 M.Tafsir al-Munir atau Marah Labid yang terbagi dalam dua jilid diakui sebagai karya bermutu dan menjadi bahan diskusi di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Tafsir ini membawa Syekh Nawawi pada gelar Ulama Besar Awal Abad 14 oleh penerbit al-Babi al-Halabi, Kairo.

Syekh Nawawi al-Bantani digelari Syekh al-Hijaz (Mahaguru Hijaz) karena berhasil mencapai posisi puncak keilmuwan. Karya-karyanya banyak diterbitkan penerbit Timur Tengah dan menjadi rujukan umat Islam di berbagai negara.

Berkat kecerdasannya, Syekh Nawa wi juga mampu menulis buku dalam waktu yang relatif singkat. Salah sa tu bukunya Nuruz Zalam (Cahaya Kege lapan) ditulisnya dalam waktu dua pekan.

Zamakhsyari Dhofier berpendapat Syekh Nawawi juga dikenal karena kemampuannya membuat syarah dari berbagai karya penulis lain. Syekh Nawawi menjelaskan istilah-istilah sulit dalam bahasa Arab menjadi uraian yang sederhana. Guru besar National University Canberra, Anthony H Johns, juga memuji tafsir al-Munir karya Syekh Nawawi yang dianggap lebih men detail dan bergaya tulis khas.

Kesadaran Syekh Nawawi akan dakwah melalui tulisan membuat ilmu yang disampaikannya menyebar ke seluruh wilayah Islam. Seorang ulama Patani, Thailand, Syekh Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani al- Jawi, ikut berkontribusi menyebarkan tulisan-tulisan Syekh Nawawi di Patani.

Buku-buku Syekh Nawawi juga dijadikan buku ajar di berbagai madara sah di Thailand (Patani, Yala, Satun, dan Narathiwat), Filipina Selatan, dan Malaysia. Sementara, di dunia Islam, seperti Arab Saudi, Mesir, Lebanon, dan Turki, karya Syekh Nawawi sudah dikenal.

Rendah Hati, tetapi Tetap Tegas

Samsul Munir Amin dalam buku nya, Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, menulis, Syekh Nawawi lahir di Desa Tanara, Desa Tirtayasa, Banten, pada 1230 Hijriyah atau 1815 M. Saat itu, Banten dipimpin Raja Rafiuddin (1813- 1820 M) yang menjadi raja terakhir Kesultanan Banten.

Pendirian Syekh Nawawi soal pen dudukan Belanda atas Indonesia pun tegas, menolak. Dalam skripsi "Syekh Nawawi al-Bantani Riwayat Hidup dan Sumbangsihnya Terhadap Islam", Yuyun Rodiana menulis inilah juga yang membuat Syekh Nawawi kembali ke Makkah setelah sempat pulang ke Banten dan mendapati tanah kelahirannya diduduki penjajah.

Sebenarnya, ia bisa saja menerima tawaran jabatan dari Belanda sebagai penghulu. Tapi, adalah mustahil bagi Syekh Nawawi untuk bekerja sama dengan Belanda. Karena itu, Syekh Nawawi memilih jalan perlawanan lain dengan mendidik ulama-ulama Tanah Air di Tanah Suci.

Didikan Syekh Nawawi akan se mangat kebangkitan itu juga tidak su rut meski jauh dari Tanah Air.Syekh Nawawi selalu bahagia jika mendengar ada sekelompok Muslim yang berani memberontak pemerintah kolonial. Kiai Haji Mas Muhammad Arsyad Thawil menjadi salah satu murdi Syekh Nawawi yang melakukan pemberontakan atas Pemerintah Belanda di Cilegon pada 1888 M hingga ia diasingkan ke Minahasa.

Kerendahhatian Syekh Nawawi juga sangat dikenal tak hanya oleh muridnya, tapi juga kalangan petinggi Timur Tengah pada abad 19. Ia mengumpamakan dirinya sebagai debu yang melekat pada kaki pencari ilmu.

Dalam bukunya Mekka in The Latter Past Nineteenth Century, tokoh kontroversial yang menjadi penasihat Pemerintah Hindia-Belanda, Christian Snouck Hurgronje yang pernah bertemu dengan Syekh Nawawi di Makkah antara 1884-1885 M, menyaksikan Syekh Na wawi tak pernah mendominasi pem bicaraan dan tidak mulai bicara jika tidak diminta.

Syekh Nawawi juga menggunakan pakaian dan serban yang sudah pudar warna aslinya. Syekh Nawawi tidak pernah menolak mereka yang meminta pandangannya tentang hukum agama.

Salah satu muridnya, Kyai Haji Mas Muhammad Arsyad Thawil, yang berguru pada 1868-1873 M pernah meng alami pengalaman mengesankan se perti dituturkan Yoesoef Effendi da lam bukunya Riwayat Hidup Arsyad Thawil.

Syekh Nawawi diundang para ulama Mesir. Ia mengajak serta Arsyad bersamanya. Mereka sepakat bertukar tempat duduk dalam pertemuan itu sehingga Arsyad duduk di tempat yang disediakan bagi Syekh Nawawi.

Kala itu, kedalaman ilmu Islam para ulama Jawa telah mahsyur didengar banyak kalangan. Saat para ulama Mesir mengajukan pertanyaan kepada ia yang duduk di tempat Syekh Nawawi.

Arsyad yang duduk di tempat Syekh Nawawi, mempersilakan sang `pengawal' untuk menjawab per tanyaan para ulama Mesir. Syekh N a wawi menjawab pertanyaan mereka hingga mereka puas dengan jawabannya dan mungkin mereka berpikir jika `pengawal' saja sudah hebat, apalagi yang dikawal.

Usai undangan itu, ulama Jawa makin dihormati. Karya Syekh Nawawi yang sempat ditolak penerbit Mesir pun mulai diterbitkan. Ini juga berimbas pada penghormatan yang baik kepada ulama Jawa oleh ulama-ulama Mesir kala itu. rep:Fuji Pratiwi/c71, ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement