Selasa 23 Sep 2014 19:30 WIB

Benjolan di Payudara

Red: operator

Singkirkan rasa takut untuk mengetahui status benjolan.

Saat teraba benjolan di payudaranya, rasa takut menjadi reaksi lumrah kebanyakan perempuan. Mereka khawatir benjolan tersebut ganas. Ketimbang berlama-lama gusar dengan keberadaan benjolan yang belum tentu kanker itu, coba temukan solusinya. “Datangi saja fasilitas kesehatan terdekat atau berkonsultasilah dengan dokter-dokter di Yayasan Kanker Indonesia,” saran dr Henry Naland SpB(K)-Onk, menjawab Republika.

Jika diperlukan, dokter akan merujuk ke dokter spesialis onkologi. Selanjutnya, dokter tersebut akan melakukan pemeriksaan fisik dan USG. Tidak semua perempuan yang memiliki benjolan di payudaranya mesti menjalani mamografi. Pemeriksaan ini hanya diperlukan jika benjolan tidak rata bentuknya atau berbenjol-benjol, susah bergerak dari jaringan sekitar, tidak sakit, dan benjolannya menetap, baik sebelum maupun sesudah menstruasi. “Setelah pemeriksaan dokter, USG, dan mamografi, jika dicurigai ganas, baru dilakukan biopsi,” jelas Henry.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:guim.co.uk

Kabar baiknya, tak semua benjolan di payudara bersifat ganas. Bahkan, 90 persen di antaranya merupakan tumor jinak. “Kewaspadaan diperlukan jika ada faktor risiko, misalnya, perempuan yang berusia di atas 35 tahun belum kawin, melahirkan anak pertama di atas 35 tahun, atau faktor keturunan, misalnya, sang ibu terkena kanker payudara sebelum usianya 50 tahun,” urai dokter spesialis bedah onkologi dari RS Omni Pulomas, Jakarta Timur, ini.

Jika tak yakin dengan diagnosis yang dokter berikan, pasien berhak mencari pendapat banding ke dokter lain. Dokter pun bisa melakukan hal yang sama jika ragu dengan kompetensinya. Untuk mendapatkan second opinion, pasien di RS Omni Pulomas, contohnya, dapat meminta pendapat banding dari dokter ahli Noguchi International Diagnostic Clinic, Jepang, yang bekerja sama dengan rumah sakit tersebut. “Semua informasi medis pasien dikirim melalui teleradiologi sehingga dokter kanker di Jepang dapat menganalisis kondisi pasien dan mengabarkan diagnosis berikut rekomendasi teknik pengobatan dalam lima hari kerja,” kata Direktur Omni Hospital Polumas, dr Maria Theresia Yulita, di acara peluncuran Chemo Center bertepatan dengan HUT ke-42 Omni Hospital Pulomas, Selasa (9/9) silam.

Terdiagnosis Kanker

Seiring dengan makin tingginya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan diri dan berubahnya gaya hidup, jumlah penderita kanker di Indonesia semakin meningkat. Di rumah sakit tempatnya berpraktik, Henry memantau sekarang penderita kanker payudara stadium empat tak terlalu mendominasi seperti era terdahulu. “Kini, rata-rata pasien baru terdiagnosis baru di stadium dua atau lebih dini lagi.”

Secara global, penderita kanker jumlahnya diperkirakan akan menyalip penderita gangguan kardiovaskular yang saat ini berada di urutan pertama penyakit penyebab kematian warga dunia. Mengenali pemicunya, masyarakat melakukan diet sehat dan gerak fisik aktif untuk menghindari penyakit jantung dan pembuluh darah. “Kanker lebih sulit dihindari lantaran tak bisa ditunjuk dengan pasti pencetusnya,” tutur Henry.

Ketika terdiagnosis kanker, penderita harus mendapat penjelasan yang sebenarnya tentang penyakitnya. Keluarga dan dokter tak boleh merahasiakan kondisi mereka. “Kan pasien yang punya badan, dia yang merasakan,” tutur Henry.

Penderita kanker mesti menjaga kesehatan mental. Ketenangan jiwa akan memengaruhi ketahanan fisik. “Dekatkan diri ke Sang Khalik agar tubuh merespons dengan baik terapinya,” saran Henry.

Selanjutnya, ada enam langkah modalitas pengobatan kanker yang dapat ditempuh, yakni pembedahan, radioterapi, kemoterapi, hormonterapi untuk kanker yang sensitif, immuno-molecular targeted therapy, dan complement alternative therapy (CAM). Dulu, estafet penanganan kanker diawali dengan pembedahan, lalu kalau masih ada sisa atau kambuh, akan disinar dan dilanjutkan dengan kemoterapi. “Kini, urutan pengobatan bisa dibalik, dapat dimulai dengan kemoterapi, disinar, lalu sisanya baru dioperasi,” papar Henry.

Kemoterapi

Banyak penderita kanker yang menolak menjalani kemoterapi lantaran khawatir dengan efek sampingnya. Soalnya, kemoterapi tak hanya menyasar sel liar agar tidak menyebar ke organ lain, tetapi juga sel yang normal dan sehat. Henry mengakui kendati bersifat temporer, efek samping kemoterapi memang cukup dahsyat. Kemoterapi dapat merontokkan rambut, membuat badan menjadi kurus, menimbulkan diare, memicu anemia, menjadikan kulit lebih gelap, dan ada risiko infeksi pascakemoterapi. “Ketakutan terhadap kemoterapi juga muncul karena citranya yang menjalaninya selama ini ialah penderita kanker stadium lanjut.”

Di lain sisi, banyak cara yang dapat ditempuh untuk membuat kemoterapi menjadi nyaman dan efek sampingnya pun bisa ditekan. Dokter biasanya memberikan sejumlah obat untuk mengurangi efek samping kemoterapi, contohnya, antibiotik, antikerontokan rambut, dan antidiare. Kemoterapi terbukti lebih memberikan kepastian hasil pada terapi kanker. “Pemberiannya harus memerhatikan enam benar, yaitu benar pasien, benar rute, benar dosis, benar obat, benar waktu, dan benar dokumentasi,” urai Henry.

Obat kemoterapi harus diberikan secara hati-hati karena dapat membahayakan penderita kanker, tenaga medis, maupun orang yang menjaga pasien. Keberadaan ruang kemoterapi yang secara khusus sangat diperlukan oleh pasien. Di sana, mereka mendapatkan obat kemoterapi dan perawatan untuk mengatasi efek samping yang berat. “Ruangnya mesti bersih dan sejuk dengan suasana yang nyaman,” ujar Henry.

Sementara itu, petugas kesehatan memerlukan ruang pencampuran obat yang sangat steril, kedap suara, dan menggunakan interlock. Prasyarat tersebut dibutuhkan untuk menjamin keakurasian, sterilitas, dan kualitas saat pencampuran obat untuk pasien kanker. ed: reiny dwinanda

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement