Jumat 10 Oct 2014 12:00 WIB

Hukum Donor Sperma

Red:

Seorang pesohor penyanyi dangdut berniat melakukan suntik sperma. Sebabnya, ia divonis menderita kanker rahim. Sang artis pun sudah berencana ke luar negeri untuk melakukan tindakan tersebut. Ia juga menyebut sudah ada laki-laki yang akan mendonorkan spermanya. Yang jelas, laki-laki tersebut bukan suaminya karena sang artis kini berstatus janda.

Bagaimana Islam memandang persolanan inseminasi buatan atau bayi tabung ini? Sebelum mengulik inseminasi buatan, ada beberapa cara yang dikenal dalam proses ini. Pertama, sperma diambil dari suami dan disuntikkan ke rahim istrinya karena ada masalah dalam pembuahan normal. Kedua, sperma diambil dari lelaki lain disuntikkan ke rahim wanita yang tidak ada hubungan suami istri

Ketiga, sperma diambil dari seorang suami, disemaikan ke indung telur wanita lain yang bukan istrinya, kemudian dicangkokkan ke rahim istrinya. Keempat, sperma dan sel telur diambil dari sepasang suami istri, kemudiaan dicangkokkan ke rahim wanita lain. Kelima, sperma dan sel telur diambil dari laki-laki dan wanita lain, kemudian dicangkokkan ke rahim sang istri. Keenam, sperma dan sel telur diambil dari pasangan suami istri, kemudian disuntikkan ke rahim istri lain sang suami.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Rosa Panggabean/Antara

Dalam permasalahan ini, ulama dunia pernah berkumpul di Amman, Yordania, pada 1986 untuk memutuskan hukum inseminasi buatan dalam forum Majma’ul Fiqhil Islamy. Dalam putusan berjudul Athfaalul Anaabiib (bayi tabung), forum yang saat itu juga dihadiri ulama dari Indonesia memutuskan beberapa hal.

Untuk poin pertama dalam inseminasi buatan, yakni sperma diambil dari suami dan sel telur diambil dari istri, kemudian disuntikkan ke rahim istri maka hal tersebut dibolehkan dengan syarat. Syarat yang dimaksud, yaitu tindakan ini sudah sangat dibutuhkan karena keinginan besar memiliki anak dengan cara lain tidak menghasilkan. Selain itu, tindakan inseminasi buatan tersebut mestilah memastikan faktor keselamatan dan keamanan.

Syarat berikutnya, yaitu aurat vital si wanita harus tetap tertutup. Tidak boleh juga memastikan  ika tindakan inseminasi buatan ini akan mutlak berhasil. "Kegagalan proses operasi perlu diperhitungkan. Termasuk, antisipasi pelanggaran amanah dari orang-orang rumah sakit yang sengaja mengganti sperma atau sel telur milik orang lain."

Selain itu, forum tersebut mutlak melarang proses inseminasi buatan poin kedua hingga keenam. Beberapa alasannya, yaitu melibatkan orang lain yang tidak ada hubungan pernikahan sah.

Ulama Indonesia sendiri lewat Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga pernah memutuskan perkara ini pada 1979. MUI yang saat itu diketuai oleh HAMKA berpendapat hampir sama dengan keputusan Majma’ul Fiqhil Islamy. Jika sperma dan sel telur berasal dari suami istri, hal itu diperbolehkan sebab termasuk ikhtiar berdasarkan kaidah agama.

Jika bayi tabung pasangan suami istri dititipkan ke rahim istri lain, hal ini tetap tidak boleh. Alasannya, akan menimbulkan masalah yang rumit dalam kaitannya dengan warisan. Khususnya antara anak dan ibu yang memiliki sel telur dengan ibu yang melahirkannya.

MUI menambahkan, ada pula proses inseminasi buatan dengan sperma suami yang sudah meninggal. Komisi  Fatwa MUI yang saat itu diketuai KH Syukri Ghozali berpendapat hukumnya haram. Alasannya, seperti  halnya dititipkan ke rahim istri lain, akan muncul masalah nasab terkait ayah dan masalah waris.

MUI juga dengan tegas menyatakan jika inseminasi buatan melibatkan pihak kedua atau ketiga yang tidak ada hubungan perkawinan maka hukumnya sama saja dengan zina. Dengan kaidah mencegah kerusakan, termasuk menghindari zina yang sesungguhnya. Dasarnya dalam kitab Hikmatul Tasyri’ wal Falsafatuhu terdapat hadis, "Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat maka janganlah sekali-kali menyiramkan air spermanya ke kebun (rahim) saudaranya."

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, pada 1981 juga menelurkan fatwa tentang bayi tabung. Secara umum ulama NU sependapat dengan Majma’ul Fiqhil Islamy dan MUI tentang kebolehan jika sperma dan sel telur berasal dari suami istri dan disuntik ke rahim istri.

Titik yang ditekankan oleh NU, yakni apakah cara mengeluarkan mani sang suami muhtaram atau tidak. Muhtaram artinya mani dikeluarkan dengan cara yang tidak dilarang oleh syariat. Jika mengeluarkannya dengan cara muhtaram maka ulama NU menghukuminya boleh. Namun, jika tidak muhtaram maka hukumnya haram. Allahu a’lam. ed: Hafidz Muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement