Jumat 28 Nov 2014 14:01 WIB

Tantangan Menciptakan Tenaga Kerja Profesional

Red: Erik Purnama Putra
Para pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan dalam bursa kerja di Jakarta, Kamis (6/11).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Para pencari kerja mencari informasi lowongan pekerjaan dalam bursa kerja di Jakarta, Kamis (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Paparan menarik disampaikan Direktur Eksekutif Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Ahmad Erani Yustika di Jakarta pada Kamis (27/11), terkait kinerja perekonomian Indonesia. Salah satu isu utama yang patut disoroti adalah warisan masalah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait lapangan kerja.

Menurut data Indef, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 10 tahun terakhir memang cukup menggembirakan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi tahun 2013 mencapai 5,78 persen.

Sayangnya, hal itu menyisakan masalah dengan tidak diikuti terciptanya banyak lapangan kerja. Pasalnya, elastisitas satu persen pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan 164 ribu lapangan kerja. Hal itu berarti hanya tercipta 947.920 lapangan kerja pada tahun lalu.

Mengacu efektivitas pertumbuhan ekonomi, terjadi penurunan sangat signifikan dibandingkan pada 2004. Ketika awal memimpin, pertumbuhan ekonomi satu persen berkolerasi dengan 436 ribu lapangan kerja.

Kalau saja pemerintah mampu mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi seperti semula, setidaknya tahun lalu tercipta 2.520.080 tenaga kerja. Dengan kata lain, sebanyak 1.572.160 angkatan kerja belum terserap dunia kerja dan masih harus berkompetisi untuk lepas dari status pengangguran.

Fakta tersebut jelas membuat miris. Itu ditambah data bahwa pada tahun lalu, tercatat 360 ribu sarjana masih belum mendapat pekerjaan. Jumlah itu merupakan 5,04 persen dari total pengangguran di Indonesia yang mencapai 7,17 juta orang.

Angka itu bisa dengan mudah dikurangi andai saja pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa lebih berkualitas. Tantangan ini mau tidak mau harus diselesaikan pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) dengan cepat agar tidak menjadi bom waktu pada masa depan.

 

Masalah tenaga kerja

Presiden Jokowi menghadapi tugas berat dalam menyelesaikan masalah penciptaan lapangan kerja. Karena itu, ia memilih merampingkan struktur Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) menjadi Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).

Perubahan nama ini pasti tidak sekadar pergantian nomenklatur, tetapi juga atas pertimbangan efektivitas kementerian agar bisa lebih fokus dalam mengatasi masalah pengangguran.

Beruntungnya, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri sangat responsif menghadapi persoalan lapangan kerja. Dia dengan cepat menerjemahkan instruksi Jokowi untuk bekerja cepat. Program bagus yang sudah dijalankan era Muhaimin Iskandar tetap diteruskan. Adapun, program yang tidak jalan dievaluasi dan diganti program baru yang sesuai dengan masalah yang terjadi di lapangan.

Harus diakui, masalah utama pekerja adalah kualitasnya yang masih rendah. Lihat saja lulusan perguruan tinggi (PT) yang menjadi pengangguran hanya 5,04 persen. Sisanya? Tentu saja didominasi lulusan sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA).

Mayoritas pekerja yang hanya lulusan SD membuat mereka sulit untuk bisa bersaing memperebutkan pekerjaan yang layak. Ketiadaan keterampilan membuat daya saing mereka untuk bisa diserap perusahaan menjadi kecil. Keadaan menjadi semakin sulit lantaran jumlah lapangan kerja semakin terbatas.

Parahnya, mereka yang lulusan sekolah rendah malah berpaling keluar negeri menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI). Memang, pilihan itu tidak bisa disalahkan sepenuhnya ke para TKI karena minimnya ketersediaan peluang kerja di dalam negeri. Namun, keputusan untuk menjadi TKI bisa dipastikan berisiko.

Mau tidak mau kelompok tersebut akan dikategorikan sebagai TKI informal. Tentu sangat tepat kalau Kemenaker berusaha menekan pengiriman unskilled TKI, bahkan kalau bisa disetop. Hal itu sesuai dengan rencana Muhaimin Iskandar yang menetapkan ditiadakannya TKI informal pada 2017. Indonesia lebih baik mengirim TKI yang memiliki keahlian, seperti dokter, insinyur, atau perawat.

Peran Kemenaker

Apakah Kemenaker berpangku tangan melihat rumitnya masalah pencari kerja yang belum bisa diserap dunia kerja? Tentu saja tidak. Kemenaker sudah memikirkan bagaimana caranya agar pencari kerja bisa menjadi tenaga kerja yang profesional.

Caranya adalah dengan membangun sistem atau mekanisme agar dunia pendidikan dan dunia kerja dapat selaras dan saling terkait. Untuk mengatasi pengangguran, Kemenaker berupaya memfasilitasi perluasan dan kesempatan kerja, melalui pemagangan dalam negeri ataupun luar negeri.

Program ini sudah diterapkan sejak era Muhaimin Iskandar. Tidak hanya itu, program padat karya produktif dan inovatif, serta mencetak wirausaha baru juga dijalankan. Bahkan, penempatan tenaga kerja melalui bursa kerja di dunia maya dan kerja sama penempatan tenaga kerja, baik di dalam negeri maupun di luar negeri terus difasilitasi.

Di tengah persiapan menghadapi ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015, Menaker Hanif Dhakiri selayaknya menggandeng Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasem) serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) untuk membicarakan kurikulum pendidikan agar sesuai permintaan pasar.

Dengan begitu, lulusan perguruan tinggi ataupun sekolah menengah kejuruan (SMK) bisa menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang dibutuhkan dunia kerja. Karena kalau pendidikan formal yang diterima bisa klop dengan tuntutan pasar, mahasiswa dan siswa SMK ketika sudah lulus bisa langsung menjadi tenaga kerja yang siap pakai.

Mereka tidak hanya sanggup bersaing di dalam negeri dalam mencari pekerjaan yang layak, tetapi juga siap menghadapi tenaga kerja negara tetangga lantaran memiliki skill mumpuni. Pasalnya, kalau tidak begitu, nantinya perguruan tinggi dan SMK hanya mencetak lulusan pengangguran. Jangan sampai, misalnya, semakin banyak mahasiswa menganggur yang tentu menjadi pengangguran terdidik.

Harus diakui, tidak mudah dan perlu waktu bagi Kemenaker untuk mengatasi penciptaan lapangan kerja dan pengurangan pengangguran. Namun, dengan berbagai kebijakan dan komitmen kuat untuk membantu terciptanya pertumbuhan ekonomi maksimal demi kesejahteraan rakyat, upaya tersebut patut diapresiasi.

Itu lantaran hubungan antara tenaga kerja dan pembangunan nasional terletak pada kenyataan, tenaga kerja adalah motor penggerak pembangunan ekonomi. Kalau masalah pengangguran dapat dientaskan dan kualitas tenaga kerja mampu ditingkatkan, otomatis berdampak baik bagi kemajuan bangsa ini.

Hanya saja, catatan ekonom Drajat Wibowo patut dijadikan bahan pegangan. Sekarang, pertumbuhan ekonomi sedang melambat seiring melemahnya ekonomi global. Kalau pertumbuhan ekonomi melambat, otomatis penyerapan tenaga kerja berkurang. Sehingga, kalau tidak diantisipasi, boro-boro mengurangi pengangguran, yang terjadi malah tenaga kerja tak terserap semakin bertambah.

Sekarang, kita tunggu saja hasil kerja nyata Menaker Hanif Dhakiri…

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement