Selasa 02 Dec 2014 06:00 WIB

Teknisi Kompor Gas

Red: Maman Sudiaman
Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Tubuhnya gempal agak pendek, ceria, usianya bolehjadi berada pada kepala lima. Sudah 25 tahun berprofesi sebagai teknisi kompor gas dengan segala merek. Sekalipun punya mobil jip, dia memilih sepeda motor dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Panggilan selalu datang dari mereka yang punya masalah dengan kompornya.

Saya saksikan sendiri kepakarannya saat membongkar kompor saya. Seperti tanpa berfikir panjang, tangannya bekerja melaksanakan perintah otaknya dengan sangat cekatan dan sigap. Karena penyakit kompor saya sudah sangat jelas, yaitu sumber api otomatisnya sudah puluhan tahun tidak berfungsi, Bung Sutarman, nama teknisi,  telah membawa lengkap suku cadang yang diperlukan dengan speda motornya yang sarat beban itu.Karena peralatan untuk memungsikan sumber api listrik otomatis sudah berantakan dan harus diganti, kata teknisi, biayanya agak mahal. Monggo mawon (terserah saja), jawab saya. Tidak kurang dari tiga setengah jam waktu yang diperlukan kemudian, barulah semua pekerjaan perbaikan rampung sempurna. Bung Tarman hanya rehat sebentar saat menjalankan salat asar di masjid dekat rumah.

Tentang hidup keagamaannya, Bung Tarman punya cerita sendiri. Bermula dari seorang yang tak hirau dengan agama, entah apa yang mendorong, teknisi ini sekarang sudah mahir baca Alquran, bahkan sudah tamat empat kali. Mentornya seorang guru SD, usia muda, tetapi katanya penyabar. Bung Tarman sangat terkesan dengan sikap sabar gurunya itu. Dengan penuh kesabaran, pelajaran dengan mudah ditangkap, imbuh Tarman, dengan penuh kebanggaan. “Saya bahagia sekali,” katanya.

Ternyata mahir membaca Alquran itu, sekalipun belum tentu faham maknanya, punya nilai tersendiri baginya. Dengan mengikuti kasus Tarman ini, saya semakin menyadari, ratusan juta umat Islam di muka bumi biasa membaca Alquran tanpa mengerti apa yang dibaca. Tentu akan lebih sempurna, jika maknanya mulai difahami. Saya tidak menyampaikan itu kepada Bung Tarman. Bagi saya, rajin salat dan suka baca Kitab Suci sudah merupakan modal awal bagi seorang Muslim untuk membangun pribadi yang baik.

Dulu di Sumatera Barat, melalui surau-surau tradisional, anak muda Minang gemar belajar baca Alquran selama bertahun-tahun. Mereka juga tidur di surau itu.  Sekarang kondisinya semakin memprihatinkan. Novelis alm. A.A. Navis tahun 1950-an dengan sangat tajam menulis novel di bawah judul, Robohnya Surau Kami¸ sebuah kritik kehidupan keagamaan di Minangkabau yang semakin luntur dan dangkal. Sudah sulit dijumpai sekarang sosok manusia semisal Bung Tarman di sana, dalam usia dewasa tergerak hatinya untuk belajar baca Alquran.

Fenomena terbalik ditemui di Jawa, terutama di kawasan perumahan. Tidak sedikit manusia pensiunan tergerak hatinya untuk belajar membaca Kitab Suci ini, dan umumnya mereka berhasil. Fenomena ini jika dipandang dari sisi sosiologis  adalah proses santrinisasi dalam bentuknya yang sederhana, tetapi penting sebagai daya tahan dalam menghadapi pengaruh buruk dari luar.

Teknisi kita ini dengan pengetahuan agama yang tidak seberapa, kualitas imannya mungkin lebih baik dari saya. Tuan dan puan yang mungkin telah belajar agama sampai tingkat doktor, dari sisi iman, jangan memandang enteng seorang teknisi kompor gas yang bagi saya sangat memukau. Bung Tarman dengan sangat rinci menjelaskan harga komponen yang diperlukan untuk kompor, padahal tidak diminta, karena sudah percaya. Tetapi didesaknya juga agar segala sesuatu terang benderang, sedangkan ongkos kepakarannya selama sekian jam bekerja nyaris tanpa henti itu hanya ditetapkan Rp 200 ribu. Seakan-akan kepintarannya itu tidak diperhitungkannya.

Saya semakin kagum mengamati dari dekat sosok yang begini lugu. Padahal kesempatannya jika ingin berkelit di depan saya yang buta huruf dalam masalah kompor terbuka lebar. Rupanya didikan agama sederhana yang didapatnya telah menjadikannya sebagai manusia jujur dan lurus. Proses internalisasi nilai-nilai agama yang membentuk pribadi seseorang dengan karakter yang kuat inilah yang semakin langka kita jumpai dalam kehidupan kolektif kita. Quo vadis pendidikan agama di Indonesia?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement