Rabu 11 Feb 2015 19:39 WIB

Puluhan Ribu Anak TKI Butuh Akses Pendidikan

Red: Fernan Rahadi
 Sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) tiba di Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta, Selasa (23/12).
Foto: Antara/Wahyu Putro
Sejumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) tiba di Lanud Halim Perdanakusumah, Jakarta, Selasa (23/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebanyak 50 ribu anak tenaga kerja Indonesia (TKI) di Sabah dan Serawak membutuhkan akses pendidikan. Pemerintah Indonesia pun segera berkoordinasi dengan pemerintah Malaysia untuk segera memperbanyak sekolah disana.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M Hanif Dhakiri mengatakan, kedatangan Presiden Jokowi ke Malaysia dan bertemu dengan PM Malaysia Najib Razak membuat kesepakatan penting bagi pengembangan sekolah anak TKI. Hasil kesepakatan pada Jumat (6/2) lalu di Putrajaya ialah Najib akan memberikan kemudahan izin bagi pendirian Community Learning Centre (CLC) di Sabah dan Serawak.

“Diperkirakan ada 50 ribu anak TKI yang berada di Sabah dan Sarawak. Sebagian besar merupakan anak-anak TKI yang bekerja di ladang dan perkebunan yang menjadi kantung-kantung TKI di Malaysia,” katanya, Selasa (10/2).

Hanif menjelaskan, Indonesia sudah membangun sekolah bagi anak-anak TKI di sana, akan tetapi jumlahnya tidak sepadan. Jikalau pun ada sekolah tetapi sarana prasarana dan fasilitas yang disediakan belum layak. Masih minimnya tenaga pengajar juga menjadi kendala karena minat menjadi guru di kawasan terpencil dan jauh di Malaysia sangatlah minim.

Hanif mengatakan, melanjuti kesepakatan tersebut maka Kemenaker akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk menambah sekolah bagi anak TKI. Dia menjelaskan, komitmen kedua Negara harus ada karena Unesco sudah mengamanatkan Indonesia dan Malaysia untuk menjamin hak bersekolah anak TKI. “Maka tidak hanya di Malaysia namun akses pendidikan juga harus dipermudah di seluruh Negara penempatan TKI lainnya seperti di Filipina,” harap Hanif.

Dirjen Pendidikan Dasar (Dikdas) Kemendikbud Hamid Muhammad mengatakan, Kemendikbud memang sudah menunggu kemudahan izin dari Malaysia untuk membuka sekolah-sekolah baru. Sebab, CLC yang diberikan izin oleh Malaysia yang ada saat ini hanya bisa dibangun dan beroperasi di perkebunan kelapa sawit saja. Sementara anak-anak TKI yang orang tuanya bekerja di non ladang belum tersentuh akses pendidikan.

“Ini kesepakatan yang bagus sekali. CLC bagi anak-anak nonladang sulit memperoleh izin. Ini sesuai harapan kita agar layanan pendidikan bisa menjangkau bagi semua anak TKI,” ungkapnya.

Berdasarkan data Kemendikbud, Kemendikbud membuka CLC di Sabah yang hingga 2014 jumlah total siswa yang menerima layanan pendidikan telah mencapai 45 persen dari jumlah anak Indonesia usia sekolah di Sabah. Selain itu Kemendikbud juga mendirikan Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) yang diresmikan 22 Desember 2013. Jumlah siswanya tercatat sebanyak 728 siswa terdiri dari 380 SD, 224 SMP dan 124 SMA.

Anggota Komisi IX DPR Ali Taher berpendapat, pemerintah memang harus bertanggung jawab karena penyediaan akses pendidikan ialah tugas konstitusional yang dibebankan kepada pemerintah. Dalam hal ini, ujar Ali, selain memperbanyak jumlah sekolah maka pemerintah harus menambah jumlah tenaga pengajar sekaligus melengkapi fasilitas sekolah seperti sarana olahraga, ruang praktikum ataupun kegiatan ekstrakurikuler lain.

“Pemerintah memang harus melindungi hak konstitusi warga Negara, baik di dalam maupun luar negeri bahkan kepada anak TKI sekalipun,” ungkapnya.

Politikus PAN dapil Banten ini menambahkan, pemerintah juga harus lebih memberikan pengetahuan tentang Indonesia kepada anak-anak pekerja migrant ini. Pasalnya, mereka lahir di negeri orang, melihat dan merasakan budaya dan tradisi negeri jiran dan melekat dalam kehidupan keseharian mereka.

Oleh karena itu, selain mengajari pengetahuan umum  maka guru harus bisa mengajari mereka lagu-lagu khas Indonesia, lambang Negara dan tataran bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dia juga mendukung lebih banyak pengiriman guru kesana namun harus diberikan pendapatan dan tunjangan yang mendukung karena beban mengajar mereka lebih berat dari guru pada umumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement