Ahad 22 Feb 2015 14:27 WIB

Penetrasi Asuransi dan Dapen Indonesia Tertinggal dari Negara Lain

Rep: C87/ Red: Satya Festiani
Petugas melayani nasabah di kantor pelayanan Asuransi Takaful Keluarga , Jakarta, Kamis (29/1).(Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Petugas melayani nasabah di kantor pelayanan Asuransi Takaful Keluarga , Jakarta, Kamis (29/1).(Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat rendahnya tingkat penetrasi asuransi dan dana pensiun di Indonesia. Tingkat penetrasi asuransi Indonesia tahun 2014 mencapai 2,14 persen. Tingkat penetrasi asuransi dihitung dari persentase premi asuransi dari produk domestik bruto.

Sedangkan, tingkat penetrasi dana pensiun (dapen), yaitu prosentase jumlah peserta dana pensiun dari jumlah tenaga kerja, adalah 5,7 persen. Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Firdaus Djaelani mengatakan, industri asuransi dan dana pensiun Indonesia menghadapi banyak tantangan, antara lain rendahnya tingkat penetrasi, terbatasnya jumlah tenaga ahli, desain produk asuransi dan dana pensiun yang belum dapat menjawab kebutuhan masyarakat, hingga tantangan mengenai defisit neraca pembayaran asuransi ke luar negeri.

“Salah satu penyebab rendahnya penetrasi ini adalah rendahnya pemahaman masyarakat dan kurangnya upaya edukasi terkait pentingnya asuransi dan dana pensiun,” kata Firdaus di gedung OJK Institute Jakarta, Jumat (20/2).

Selain itu, kemampuan dan kemauan masyarakat untuk menggunakan fasilitas keuangan masih rendah, yang mungkin terkait rendahnya tingkat pendidikan dan penghasilan masyarakat. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, masih rendahnya tingkat penetrasi asuransi dan dana pensiun Indonesia menjadi tentangan pertumbuhan industri asuransi, walaupun dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Dia menilai saat ini Indonesia belum dapat merasa puas atas capaian industri asuransi dan dana pensiun Indonesia.

“Tingkat penetrasi ini masih jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, atau bahkan di level Asean seperti Malaysia atau Thailand yang masing-masing tercatat sebesar 4,9 persen dan 4,7 persen,” kata Muliaman.

Di sektor dana pensiun, kata Muliaman, tingkat penetrasi dana pensiun Indonesia tahun 2014 adalah sebesar 5,7 persen. Berdasarkan data World Bank tahun 2011, Indonesia berada pada peringkat keenam dari 6 negara dalam tingkat penetrasi dana pensiun di bawah Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, dan bahkan Vietnam.

Tantangan berikutnya, neraca pembayaran asuransi Indonesia ke luar negeri, yang defisit sekitar Rp 8,19 triliun pada tahun 2013. Rata-rata peningkatan defisit neraca pembayaran asuransi sekitar 16,1 persen setiap tahun, dari tahun 2008 sebesar Rp 5,03 triliun. Menurutnya, kondisi defisit tersebut secara umum mencerminkan tingkat kemampuan tenaga ahli di bidang asuransi yang masih belum mampu mengelola risiko secara optimal di dalam negeri.

Selanjutnya, tantangan terkait dengan kapasitas Sumber Daya Manusia di bidang Asuransi dan Dana Pensiun. Menurutnya, edukasi kepada masyarakat serta link and match antara kebutuhan industri dan lulusan perguruan tinggi mempunyai peranan yang sangat penting pengembangan ke dua industri ini. Dalam aktivitas akademik, saat ini hanya terdapat beberapa universitas yang telah mengenalkan mata kuliah tentang IKNB khususnya asuransi dan dana pensiun. Sementara gap antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga ahli di bidang IKNB seperti aktuaris, statistikawan, dan ahli asuransi, terlihat masih cukup besar.

Oleh karena itu, Muliaman menilai pentingnya kerjasama yang sinergis antara civitas akademika dan industri terkait agar kurikulum pendidikannya dapat diarahkan sesuai dengan kebutuhan pasar. OJK juga menargetkan memiliki tenaga fungsional internal yang akan berfungsi sebagai spesialis dalam bidang-bidang tertentu. Sehingga akan mempermudah SDM OJK dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap perusahaan secara lebih fundamental dan mendalam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement