Jumat 27 Feb 2015 06:00 WIB

Jangan Takut, Jokowi

Red: Maman Sudiaman
Nasihin Masha
Foto: Republika/Daan
Nasihin Masha

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nasihin Masha

“Yang saya khawatirkan adalah rasa takut...Keadaan psikologislah yang mengakibatkan kepanikan dan resesi.”

Kalimat itu tertuang dalam otobiografi Alan Greenspan, The Age of Turbulance. Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat selama hampir 19 tahun (1987-2006) itu ibarat dewa bagi ekonomi negeri itu, bahkan bagi dunia. Kata-katanya bak mantra bagi pelaku usaha dan penguasa politik. Serangan teroris terhadap Amerika pada 11 September 2001 masih bisa ia kalkulasi secara ekonomi. Bank Sentral juga sudah memiliki protokol berlapis jika ada turbulensi politik dan ekonomi. Namun yang ia khawatirkan adalah jika serangan itu menimbulkan rasa takut. Efek psikologis tak bisa dikalkulasi. Hal itulah yang bisa menimbulkan kepanikan, dan kemudian resesi ekonomi.

Saat ini, Presiden Jokowi sedang menjalankan apa yang dikatakan para kritisinya sebagai diplomasi macho. Padahal itu adalah diplomasi sejati negeri ini, bahkan bagi semua negeri, jika itu menyangkut kepentingan nasional. Diplomasi Jokowi ini merupakan kebalikan diplomasi Presiden SBY yang mengukuhi kredo “thousands friends, zero enemy”. Yang satu memberi kesan garang, yang satu memberi kesan lembek. Tak ada yang salah, karena masing-masing sesuai konteks zamannya. SBY perlu mengkonsolidasi kekuatan dalam negeri dan internasional untuk memulihkan ekonomi nasional. Semua harus menjadi teman. Kini, setelah ekonomi Indonesia sudah relatif baik, pemerintah harus memiliki pijakan yang lebih jelas.

Dalam konteks itulah, Jokowi menertibkan lautan Indonesia. Setiap tahun diperkirakan ada Rp 350 triliun penjualan ikan Indonesia. Namun sebagian sangat besar justru dicuri – terutama oleh nelayan asing. Karena itu, pemerintah membuat kebijakan menenggelamkan kapal-kapal nelayan asing. Tentu saja hal itu menimbulkan reaksi negatif dari sejumlah negara tetangga, yang selama ini nelayannya menjadi pencuri di laut Indonesia. Diplomasi tegas – bukan diplomasi macho – Jokowi itu juga ditunjukkan dengan menolak grasi sejumlah terpidana mati kasus narkoba. Pada 18 Januari 2015, enam terpidana mati narkoba sudah dieksekusi oleh regu tembak. Mereka berasal dari Malawi, Brasil, Nigeria, Vietnam, dan Indonesia (dua orang). Kini, ada enam terpidana mati lagi untuk kasus narkoba yang akan dieksekusi pada akhir Februari ini atau awal Maret nanti. Dua di antaranya berasal dari Australia.

Akibat sikap tegas itu, kini Indonesia sedang menghadapi tekanan dari Brasil dan Australia. Presiden Brasil Dilma V Rousseff mempermalukan diplomat Indonesia. Toto Riyanto, duta besar designated, yang sudah berada di istana kepresidenan Brasil bersama sejumlah duta besar designated dari negara-negara lain untuk mengikuti acara credential penyerahan surat kuasa selaku duta besar tiba-tiba diusir. Ini merupakan langkah balasan Brasil terhadap eksekusi mati terpidana narkoba yang warga negara Brasil. Penolakan ini menyalahi tatakrama internasional karena Toto sudah diundang secara resmi.

Sedangkan PM Australia, Tony Abbott, melakukan berbagai upaya agar Presiden Jokowi memberikan pengampunan terhadap dua terpidana mati asal negeri itu. Namun hingga kini Jokowi tetap pada keputusan awal. Langkah-langkah Australia di antaranya mengancam boikot wisatawan Australia ke Bali dan bahkan Abbott mengungkit bantuan kemanusiaan Australia untuk musibah tsunami Aceh pada 2004. Sejumlah ancaman halus juga diungkap Abbott. Namun Abbott melakukan blunder saat menyinggung bantuan tsunami. Hal itu menimbulkan kemarahan masyarakat Aceh dan memunculkan gerakan Coins for Australia oleh Koalisi Pro Indonesia. Jokowi tetap tenang menghadapi tekanan itu. Padahal ia memiliki dua senjata mematikan: membiarkan para pencari suaka menuju Australia dan menyetop sementara impor daging sapi. Indonesia telah menjadi bemper bagi Australia untuk menghentikan imigran gelap dengan tujuan Australia. Mereka berasal dari negara-negara Asia Selatan maupun dari negara-negara Timur Tengah. Ekspor daging sapi Australia juga terbesar ke Indonesia, sekitar 52 persen.

Saat ini Jokowi terus mendapat tekanan ihwal eksekusi terpidana mati. Tak hanya dari dunia internasional, tekanan juga datang dari dalam negeri. Hal itu terlihat dari sikap sejumlah media massa maupun pernyataan sejumlah tokoh. Mereka selalu mengatasnamakan hak asasi manusia dan proses hukum bisa saja salah. Dari segi hukum, tak ada peraturan internasional yang dilanggar. Hukuman mati diakui secara internasional. Memang ada kontroversi. Terbukti, untuk perkara terorisme, semua setuju. Semestinya tak ada ambivalensi untuk kasus narkoba. Malaysia dan Singapura sudah lama menerapkan hukuman mati dan mengeksekusinya bagi kejahatan narkoba. Hal itu sangat efektif menekan peredaran dan penggunaan narkoba di dua negara itu. Hal itulah yang kemudian ditiru Vietnam. Dalam waktu singkat kejahatan narkoba berkurang drastis.

Saat ini, 38 persen penghuni penjara di Indonesia adalah narapidana narkoba. Yang tercatat, ada 3,8 juta pengguna narkoba di Indonesia. Prevalensinya, 3,4 orang dari 100 ribu penduduk Indonesia adalah pengguna narkoba. Sebuah angka yang sangat besar. Bandingkan dengan Singapura yang 0,02. Karena itu, Indonesia sudah darurat narkoba. Sehingga sudah saatnya para terpidana mati narkoba dieksekusi. Selama ini, mereka bisa tetap mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji besi. Para pengguna narkoba yang tertangkap, lebih memilih dipenjara daripada direhabilitasi. Ini karena mereka bisa tetap bebas memakai narkoba di penjara. Indonesia masih terlalu lemah mengendalikan birokrasinya, termasuk birokrasi di penjara.

Pada sisi lain, kejahatan narkoba sangat merusak generasi muda, menghancurkan keluarga, menumbuhkan kriminalitas, mencederai kehidupan sosial, dan menguras ekonomi nasional. Kejahatan narkoba selalu terorganisasi dan ketika kuat akan mengendalikan suatu bangsa dan negara. Karena itu, sebelum seperti itu – dan nyatanya Indonesia sudah darurat narkoba, yang artinya sudah besar -- maka pemerintah harus mengikis habis. Jangan sampai Indonesia menjadi negara kartel narkoba seperti negara-negara di benua Amerika.

Hanya rasa takut, seperti kata Greenspan, yang membuat Jokowi membatalkan eksekusi mati terpidana mati narkoba. Kita percaya Jokowi bukan penakut. Namun sebagian dari kita sudah jerih dengan ancaman dan tekanan negara-negara lain. Para penakut itu kemudian menekan Jokowi. Sungguh aneh. Abbott dan Rousseff sejatinya bukan sedang membela warganya. Mereka sedang menaikkan popularitasnya yang sedang merosot di dalam negeri. Hanya kaum penakut yang kehilangan rasionalitasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement