Jumat 10 Apr 2015 14:10 WIB

Muhammadiyah: Pemerintah tak Boleh Main Blokir

Rep: c14/ Red: Damanhuri Zuhri
22 Situs Islam Diblokir
Foto: Mardiyah
22 Situs Islam Diblokir

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mulai kemarin (9/4) membuka kembali akses publik terhadap 12 dari 19 situs media Islam.

Sebelumnya, ke-12 situs tersebut diblokir Kemenkominfo berdasarkan usulan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Menurut BNPT, situs-situs itu memuat dan menyebarkan konten berpaham radikalisme.

Sehubungan dengan itu, Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas mengapresiasi langkah responsif Kemenkominfo tersebut.

Seperti diketahui, pemblokiran situs-situs ini telah memunculkan polemik di masyarakat. Karenanya, ujar Yunahar, pihaknya mengimbau pemerintah agar dapat memetik pelajaran dari kebijakan blokir yang tanpa dialog itu.

"Sementara, cukup yang diblokir agar dibuka. Cuma ke depannya, pemerintah tidak boleh main blokir lagi. Ini kontrol yang berlebihan terhadap media," kata Yunahar Ilyas saat dihubungi Republika, Jumat (10/4).

Tambah lagi, lanjut Yunahar, sebenarnya nama baik ke-12 situs media Islam itu sudah terlanjur rusak oleh stigma sebagai penyebar paham kekerasan.

"Walaupun dibuka (blokirnya), memperbaiki stigma itu tidak mudah. Ini lekat di masyarakat. Yang paling mahal kan menjaga nama baik itu," tutur dia.

Apalagi, seperti diketahui, Kemenkominfo tidak mengadakan konfirmasi ke pengelola situs-situs itu sebelum memblokirnya. Dengan begitu, menurut Yunahar, akan lebih bijak bila pemerintah berani meminta maaf secara terbuka ke publik.

"Kalau BNPT dan Kemenkominfo berbesar hati, ya rehabilitasi (nama baik situs-situs tersebut). Paling tidak, mengklarifikasi ke masyarakat umum," papar dia.

Muhammadiyah, kata Yunahar, menginginkan agar pemblokiran terhadap sebuah saluran ekspresi masyarakat mesti melalui mekanisme pengadilan.

Sedangkan pemerintah hanya melakukan pendekatan yang sifatnya persuasif dan dialogis terhadap pihak-pihak yang diduga menyebarkan paham yang berbahaya.

"Biar pengadilan yang memutuskan. BNPT dengan tafsirnya, sementara semua beda-beda (tentang definisi radikalisme)," pungkasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement