Kamis 30 Apr 2015 14:00 WIB

Abdullah Azwar Anas (Bupati Banyuwangi): Rakyat Harus Bahagia Lahir dan Batin

Red:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Stigma masyarakat Indonesia terhadap Kabupaten Banyuwangi sebagai daerah santet, kotor, dan tempat perlintasan bagi pelancong yang ingin ke Bali, membuat Abdullah Azwar Anas bertekad untuk mengubahnya saat terpilih menjadi bupati pada 2010 silam. Berbagai perubahan dia lakukan untuk memperbaiki stigma tersebut.

Perlahan tapi pasti, dia berhasil memoles Banyuwangi menjadi daerah yang terpandang, baik dari sisi keindahan kota, pariwisata, kesejahteraan rakyat, hingga ke soal teknologi informasi. Dalam lima tahun kepemimpinannya, puluhan prestasi ditorehkan oleh Anas, baik secara pemerintahan maupun secara kepemimpinannya.

Bagaimana Azwar melakukan itu semua? Berikut wawancara wartawan Republika, Andi Nurroni, Muhammad Hafil, Fian Firatmaja, serta fotografer Prayogi dengan Abdullah Azwar Anas.

 

Apa yang Anda lakukan saat pertama kali menjadi bupati?

Di tahun pertama, yang kami kerjakan adalah langkah-langkah reformasi birokrasi. Problemnya, suka tidak suka, kemampuan mereka bervariasi. Sementara, tantangan di luar birokasi itu banyak sekali sehingga kita harus berbenah. Perubahan pelayanan publik di luar itu besar sekali, yang harus dipastikan, kita harus berbenah.

Kita harus berinovasi, kalau tidak kita jadi stres karena bisanya hanya marah-marah ke birokrasi. Yang pertama, kita tingkatkan kualitas dan kedua kita jaga kekompakan. Bagaimana caranya, bupati dan wakil harus solid. Kedua, kualitas harus dibenahi, yang ada di-upgrade dengan memanggil pakar dari luar, misalnya dengan ESQ.

Selain itu, kita lakukan rekrutmen baru dengan standar kualifikasi yang bagus. Kalau dulu melamar PNS itu kelas tiga, karena kelas satu ke swasta dan perbankan. Tapi sekarang, kita mencari yang kelas satu.

 

Apa tantangannya waktu itu?

Tantangannya, kita ini kabupaten, jarak satu kecamatan dengan yang lainnya sangat jauh. Banyuwangi itu satu kecamatan dengan yang lainnya bisa tiga jam perjalanan. Bagaimana meningkatkan pelayanan publik, kendaraannya adalah teknologi informasi.

 

Bagaimana mengaplikasikan teknologi informasi tersebut?

Kita buat smart kampung. Smart kampung ini mendorong kampung-kampung untuk melek teknologi, misalnya bisa berbisnis online. Kita punya program bayi ‘lahir procot bawa akte’. Itu bukan semata-mata lahir bawa akta, secara teknis itu susah, makanya kita harus mengoneksikan IT, antara disdukcapil, puskesmas, dan lain-lain. Makanya, smart kampung itu kita kerjakan. kita belanja bandwidth untuk peningkatan birokrasi.

Apa dampak dari strategi ini?

Pelayanan ini ujungnya ekonomi mikro harus tumbuh. Karena investasi besar tidak banyak menyerap lapangan pekerjaan, tapi usaha mikro yang kecil-lah yang banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, kredit harus ditingkatkan. Selain kredit, mereka juga butuh perlindungan pasar. Sejak 2010, kami mengambil keputusan tidak mengizinkan satu pun pasar modern. Kedua, yang kami larang adalah pembangunan mal.

Kami kendalikan mal, yang kami izinkan mal 30 km dari pusat kota. Intinya, rakyat perlu proteksi. Buah dari ini adalah pengurangan kemiskinan dan masuknya investasi.

 

Pariwisata Banyuwangi meningkat, apa rahasianya?

Banyuwangi dulu tidak terkenal dan jauh dari mana-mana. Banyuwangi itu tempat transit. Orang ke Bali, turun kencing naik bus lagi. Image-nya sangat kurang nyaman. Banyuwangi sebelah barat gunung, sebelah utara hutan, selatan laut, terkenal Nyi Roro Kidul, di selatan ada alas purwo. Dulu itu handicap, orang tidak mau ke Banyuwangi.

Ini saya baca sebagai peluang. Saya baca, tren dunia sekarang ingin kembali ke alam, ingin berwisata alam, ke hutan, atau ke gunung. Peluang ini harus didefinisikan tepat. Kedua, kuncinya meyakinkan publik. Maka, kita bangun ecotourism. Karena kita punya hutan banyak, air melimpah, tiga taman nasional yang mengapit Banyuwangi, tidak semua daerah punya. Itu ciptaan Allah. Mal bisa dibangun, taman nasional tidak bisa.

Di sinilah kita jual, kita jual ecotourism. Di samping penguatan pertanian, pariwisata jadi pilihan. Karena kalau menjual alam ada batasnya, ada waktunya habis. Industri jasa pariwisata tidak ada matinya. Amerika, Prancis, Malaysia hidup salah satunya karena pariwisata. Kenapa? Karena, ke depan tren pertumbuhan ekonomi ditopang oleh wisata.

 

Pariwisata yang dikembangkan, mengapa berbeda dengan daerah lainnya?

Parisiwata, kalau dibangun tidak hati-hati, arahnya ke free sex. Kalau tidak hati-hati, bisa berat. Kita belajar, ada kawasan Puncak. Bagaimana di Puncak sekarang banyak tempat-tempat yang disalahgunakan. Sejak awal, saya juga bilang ke staf, kita tidak meniru Bali. Saya yakinkan mereka, Bali dengan segala kehidupan malamnya, dengan kebebasannya, hanya mendatangkan 4,9 juta wisatawan per tahun. Benchmark kita bukan Bali, tapi beberapa negara bagian di Malaysia.

Wisata tak harus hiburan malam. Sejak awal, kita membangun ecotourism, yang kelasnya menengah ke atas. Karena sekarang, orang ingin ke gunung, ke hutan, ke pantai. Banyuwangi tidak menjual wisata hiruk pikuk.

 

Anda berhasil menutup 13 lokalisasi, bagaimana caranya?

Di Banyuwangi kita enggak ada perda antimaksiat, tapi kita sudah menutup 13 lokalisasi. Dua puluh tahun perda antimaksiat gagal diketuk di dewan. Saya pidato ke mana-mana, saya berbicaranya soal penyebaran HIV/AIDS, itu dalam waktu 3,5 tahun. Caranya macam-macam, mulai dari memasang CCTV. Saya bialang, bukan hanya PSK-nya yang diawasi, tapi yang datang juga.

Saya membuktikan kepada teman-teman, tanpa lokalisasi, tanpa karoke, wisata Banyuwangi tumbuh. Ini tesis baru, kegagalan teman-teman, syariah dikedepankan, infrastruktur tidak disiapkan. Rata-rata yang pakai perda syariah dikedepankan gagal.

 

Berapa PAD dari sektor pariwisata?

PAD bagi saya nomor sekian. PAD itu ada yang direct impact dan  indirect impact. Contoh, ketika saya memperbaiki Pantai Boom, saya tidak menghitung PAD, tapi bagaimana rakyat kami bisa bahagia. Yang tadinya kumuh, sekarang bersih, orang jadi bahagia. PAD kami, naik dari Rp 90 miliar menjadi Rp 200 miliar. APBD kita naik dari Rp 1,3 triliun menjadi Rp 2,5 triliun.

Income per kapita Banyuwangi dulu Rp 15 juta. Sekarang Rp 25,5 juta. Dari situ, ekonomi rakyat menggeliat. Ini terjadi bukan hanya karena bupatinya, tetapi karena partisipasi rakyat. Kami menggalang partisipasi publik.

 

Bagaimana cara Anda mewujudkan Banyuwangi dari daerah terkotor menjadi terbersih?

Program ecotourism dan Banyuwangi hijau harus paralel, antara memahamkan rakyat dan ketertiban dengan kesejahteraan. Kalau ketertiban saja, tapi rakyat tidak mendapatkan dampak, ini tidak akan berjalan. Banyuwangi hijau itu harus mencakup semua masyarakat, termasuk ulama, melalui khutbah jumat mengenai gerakan hijau. Bantuan sosial kami untuk masjid tidak akan diberikan jika masjid tidak menanam pohon di halamannya.

Kita juga punya program sedekah pohon. Tahun ini kita punya festival toilet bersih. Gerakan sedekah oksigen, juga di-launching di gereja dan pura, semua khutbah tentang Banyuwangi hijau.

 

Anda mendatangkan sejumlah perguruan tinggi negeri terkenal di Banyuwangi, apa motivasinya?

Pendidikan ktia sudah jalan, perguruan tinggi kita sudah banyak. Jangan sampai daerah ini maju, tapi masyarakatnya jadi penonton karena SDM-nya tidak disiapkan. Perlu institusi besar yang menjadi jangkar menarik yang lain.

Dari situ, kita menghibahkan tanah untuk sekolah pilot negeri, politeknik negeri, kemudian ada Universitas Airlangga. Saya melihat setiap bupati baru selalu ganti kebijakan. Ada hal yang tidak boleh diubah adalah pendidikan. Dengan adanya kampus-kampus negeri ini, harapannya kebijakan pendidikan Banyuwangi tidak berubah karena ia menjadi jangkar. Target saya lima tahun ke depan, institusi pendidikan akan semakin ramai. Ke depan, akan dibangun politeknik perikanan dan pelayaran.

 

Apa yang Anda lakukan dalam bidang kesehatan?

Dulu kalau sakit, sedikit-sedikit warga Banyuwangi larinya ke dukun. Sekarang kalau sakit, sedikit-sedikit ke puskesmas. Asuransi sebelum ada BPJS sudah kita dorong, termasuk untuk sektor informal, termasuk semua tukang sapu di Banyuwangi kita asuransikan. Angka harapan hidup kita terus naik. Sekarang rata-rata 70 tahun.

 

Hasil survei menyebut tingkat kepuasan masyarakat Banyuwangi tinggi?

Orientasi kinerja kita ke customer, sekarang perusahaan mengukur tingkat kepuasan pelanggan. Di Banyuwangi, setiap semester kita survei. Kita pakai salah satunya lembaga survei kredibel, Lingkaran Survei Indonesia atau LSI. Setiap enam bulan kita survei. Berbagai pelayanan disurvei. Dulu, hanya sekitar 40 persen warga puas, sekarang naik 80 persen. Kita bukan hanya mengukur rakyat puas tidak puas, tapi yang membuat tidak puas bagian mana sih, kita perbaiki. Ini saya meniru di negara-negara Barat.

Ini cara kami mengukur rakyat kami sudah puas atau tidak, mulai dari sisi keamanan, lapangan pekerjaan, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Dari survei ini, mata kami lebih terbuka. Misalnya, sektor ini harus diperkuat, sektor itu masih lemah. Orientasi kita  bukan hanya statistik, tetapi harus diimbangi dengan tingkat kepuasan rakyat, yang berkorelasi dengan tingkat kebahagiaan rakyat.

 

Apa filosofi Anda dalam memimpin?

Ini banyak masalah. Butuh inovasi. Perlu sesuatu yang segar, tapi tidak melanggar aturan. Perlu terobosan, cara-cara baru agar masalahnya bisa diatasi. Masalah ini selalu akan hadir. Kita jangan menghindari, tapi menyelesaikan masalah. Kunci dari menyelesaikan masalah ini, perlu semangat dari leader. kalau pimpinannya enggak semangat, anak buah juga enggak semangat.

Apa yang kita kerjakan biasanya dinilai orang lain. Ketika ketika dinilai orang lain berhasil, biasanya anak buah semangat. Saya mendapat pengharagaan, itu bukan buat saya, itu penghargaan buat staf-staf saya, kebetulan saya bupatinya. Kalau saya berinovasi tanpa didukung staf-staf saya, tentu tidak akan berhasil.

Inovasi juga harus didukung rakyat. Rakyat akan mendukung kalau kita berhasil menjelaskan kepada rakyat. Kalau rakyat sudah dijelaskan, rakyat akan terlibat. Kalau rakyat terlibat, roda akan berputar. Menurut saya, tidak ada sesuatu yang berhasil, kecuali ada kesungguhan dan dukungan dari banyak orang. ed: Muhammad Hafil

 

Sejumlah Prestasi  Kabupaten Banyuwangi

 

1.  Angka penurunan kemiskinan:

2010: 20,09 %

2011: 11,25 %

2012: 10,47 %

2013: 9,94 %

2014: 9,57 %

 

2.  APBD

2010: 1,4 T

2011: 1,39 T

2012: 1,7 T

2013: 1,8 T

2014: 2,2 T

2015: 2,5 T

 

3.  PAD

2010: Rp. 87 M

2011: Rp. 91,3 M

2012: Rp. 119,6 M

2013: Rp. 208,9 M

2014: Rp. 249 M

 

4.  Penghargaan Adipura 2013 dan 2014.

 

5.  Peningkatan Kunjungan Wisatawan:

 

2010:

wisatawan nusantara (wisnus): 654.602

wisatwan mancanegara (wisman): 16.977

 

2011:

Wisnus: 789.101

Wisman: 13.377

                    

2012

Wisnus: 860.831

Wisman: 5.502

 

2013

Wisnus: 1.057.952

Wisman: 10.426

 

2014

Wisnus: 1.500.735

Wisman: 27.698

 

6.  Teknologi Informasi

-    Banyuwangi diresmikan sebagai kota digital society pada 2013 dengan pemasangan 1.100 titik wi-fi.

-    Pada 2015 sudah mencapai 1.900 titik

 

Sejumlah  Penghargaan Pribadi

-    Bupati dengan kinerja sangat tinggi versi Kemendagri (2014).

-    Inspiring Young Leader  sebagai Progressive Leader. Penghargaan diserahkan Presiden Jokowi di Jakarta (2014).

-    Marketer of The Year pada Indonesia Marketing Champion 2014 untuk kategori kalangan pemerintahan oleh MarkPlus Inc.

-    Bupati yang memajukan agrowisata ruang terbuka hijau, bunga, dan usaha kreatif dari Menteri Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (2011).

-    Pelopor pembangunan UMKM Terbaik oleh Universitas 11 Maret Surakarta (2013).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement