Ahad 18 Oct 2015 07:58 WIB

Mencium Tangan Kiai, Benarkah Diharamkan?

Red: Nasih Nasrullah
Dzikir
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Dzikir

REPUBLIKA.CO.ID, Mencium tangan kiai atau tokoh masyarakat lainnya, merupakan tradisi yang jamak dan lazim berlaku di Indonesia. Tetapi, belakangan kebiasaan tersebut mendapat sorotan karena dianggap sebagai bentuk pengultusan. Benarkah demikian. Lantas apa hukum mencium tangan kiai atau ulama?

Menurut salah satu pengasuh Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Hanif Luthfi, hukum dasar mencium tangan orang yang lebih alim adalah mubah. Ia menyebut bahwa kekhawatiran munculnya sikap berlebihan (pengkultusan) bukan menjadi landasan pengharaman cium tangan tersebut.

Mencium tangan kiai termasuk bentuk penghormatan dan bukan penyembahan. Ini pun adalah tradisi yang berlaku di tengah masyarakat dan tak bertentangan dengan syariat Islam.”Jika adat itu baik dan tidak bertentangan dengan syara’ atau bahkan malah sejalan dengan agama, maka seharusnya kita lestarikan,” tuturnya seperti dinukilkan dari rumahfiqih.com.

Ia menukilkan sejumlah argumentasi. Di antaranya, para sahabat, seperti dinukilkan dari az-Zarra dalam Sunan Abu Dawud, kerap mencium tangan dan kaki Nabi Muhammad SAW. Kisah-kisah tentang para sahabat yang mencium tangan Rasul itu juga banyak diceritakan oleh sejumlah sahabat. Misalnya, dari Usamah bin Syuraik, dan Umar bin Khatab yang kerap mencium tangan Muhammad SAW.”Hadis tersebut tidak bukan khusus untuk Rasul saja,” tuturnya.     

Ustaz Hanif juga menukilkan kisah para sahabat yang mencium tangan mereka yang memiliki tingkat keilmuan atau kedudukan yang terhormat. Di antaranya, Zaid bin Tsabit dan Ali bin Abi Thalib yang mencium tangan Ibnu Abbas . Selain karena sebagai ahlul bait, Ibnu Abbas juga merupakan sosok yang berilmu.            

Para ulama mazhab empat, ungkap Hanif, juga membolehkan mencium tangan orang yang berilmu. Muhammad bin Ali al-Hanafi al Hashkafi dalam kitab ad Durr al Mukhtar, menegaskan tidak masalah mencium tangan hakim yang bagus agamanya dan pemimpin yang adil. Termasuk sunah pula mencium kepala orang alim, seperti ditegaskan dalam al-Bazzazah.

Abu al-Hasan al-Maliky dalam kitab Kifayat at-Thalib mengatakan Imam Malik memakruhkan mencium tangan orang lain baik orang itu alim, bapak, tuan atau suami. Karena itu termasuk kebiasaan orang Ajam. Tetapi Ibnu Batthal menganalisis, yang dimakruhkan tersebut adalah mencium tangan orang yang zalim dan sombong. “Adapun tangan seorang yang saleh dan orang yang diharapkan barakahnya maka itu boleh.”

Dalam Mazhab Syafii, jelas Hanafi, seperti ditegaskan oleh Imam Nawawi, mencium tangan seorang laki-laki dikarenakan kezuhudan, kesalehan, ilmu yang dimiliki, kemuliaannya, penjagaannya, atau yang lainnya dari perkara-perkara agama tidaklah dibenci, bahkan disukai. Namun apabila hal itu dilakukan karena faktor kekayaan, kekuasaan, atau kedudukannya di mata orang-orang, maka hal itu sangat dibenci.  

Bahkan, Imam Nawawi membuat satu bab khusus dalam kitabnya Riyadh as Shalihin tentang berjabat tangan ketika bertemu, wajah yang riang dan mencium tangan orang yang saleh. Dalam kitabnya, Fath al-Bari dan Talkhis al-Habir, Ibnu Hajar menjelaskan secara terperinci beserta dalil-dalilnya tentang kebolehan mencium tangan orang lain karena agamanya.  

Hukum bolehnya mencium tangan ulama ditegaskan pula oleh Mazhab Hanbali. Al-Bahuthi al-Hanbali, dalam Kasyaf al-Qana’ menegaskan dibolehkan mencium tangan dan kepala karena agamanya dengan tujuan memuliakan. Asal tidak adanya syahwat. Pendapat yang sama diungkapkan oleh Syekh Utsaimin dan Nashiruddin Al-Bani.  Keduanya menegaskan. mencium tangan dengan tujuan memuliakan seperti kepada bapak, orang yang sudah tua, guru itu hukumnya boleh kecuali dikhawatirkan akan terjadi bahaya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement