Sabtu 21 Nov 2015 07:00 WIB

Bung Hatta dan Nyonya Nunggu Nyoblos

Red: Maman Sudiaman
Bung Hatta dan nyonya menunggu giliran nyoblos pada pemilu 1955.
Foto: Kompen
Bung Hatta dan nyonya menunggu giliran nyoblos pada pemilu 1955.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shihab

 

Pada Pemilu pertama tanggal 29 September 1955, Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta ikut memberikan suaranya. Bung Karno antre bersama-sama dengan masyarakat di salah satu TPS di Merdeka Utara depan Istana. Sedangkan Bung Hatta (bangku kedua berkacamata) dan Nyonya Rahmi Hatta (bangku pertama berkacamata hitam) tampak tengah menanti giliran di gedung Olahraga Ikada (kini Monas), berseberangan dengan Istana Wakil Presiden di Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Kedua suami istri itu berbaur dengan rakyat, duduk di kursi sederhana menanti panggilan petugas TPS.

Pemilu 1955 yang multipartai itu, sejauh ini diberitakan paling jujur dan bersih dibandingkan pemilu-pemilu di masa Orde Baru. Tidak ada politik uang dan manipulasi suara, sementara presiden dan wakil presiden bersikap netral. Tidak melakukan intervensi untuk memenangkan pilihannya. Meski demikian, pemilu 54 tahun lalu itu tidak lepas dari saling kritik, serang-menyerang dengan kata-kata, debat di mimbar-mimbar, dan polemik di koran-koran. Televisi belum nongol.

Saling mengkritik yang disertai saling mengejek, terutama terjadi antara partai Islam Masyumi dan PKI. Sampai ada rumah tangga yang bercerai karena sang istri yang fanatik Masyumi tidak sudi suaminya yang pengikut komunis. Surat-surat kabar di masa demokrasi liberal itu berorientasi pada partai politik. Seperti, Abadi (Masyumi), Suluh

Indonesia (PNI), Harian Rakyat (PKI), Duta Masyarakat (NU), Bintang Timur (Partindo), Pedoman, Indonesia Raya, dan Keng Po (PSI). Sin Po (kelompok kiri). Kita dapat mengetahui seseorang itu dari partai mana saat melihat surat kabar apa yang dibacanya.

Karena anggota dan simpatisan parpol sangat fanatik terhadap surat kabar yang menjadi organ partainya.Hampir seluruh pimpinan partai politik terjun ke tengah masyarakat, termasuk mendatangi kampung- kampung mengajak masyarakat memilih partainya. Seperti Mohamad Natsir, Dr Sukiman, Syafrudin Prawiranegara, dan KH Isa Ansyari yang dikenal sebagai singa mimbar. Dari NU, Idham Chalid, KH Wahab Chasbullah, dan KH Saifuddin Zuhri. PNI, Sudiro dan Suwiryo. PKI, DN Aidit, MH Lukman, dan Nyoto.

Meskipun suhu politik cukup panas karena saling serang dengan kata-kata, tidak sampai menimbulkan insiden. Seperti, saat kampanye di Lapangan Banteng, jurkam dari PKI berseru jangan memilih Masyumi nanti Lapangan Banteng diganti jadi lapangan unta.

Beberapa hari kemudian, ketika giliran Masyumi berkampanye di tempat sama, ia pun berseru, ‘’Jangan pilih PKI nanti Lapangan Banteng diubah jadi lapangan merah.’’

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement