Sabtu 12 Dec 2015 13:57 WIB

'Tak Ada Money Politic di Muktamar ICMI'

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Damanhuri Zuhri
 (dari kiri) Ketua Presidium ICMI Sugiharto, Ketua Dewan Penasehat ICMI Jimly Asshiddiqie, Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menghadiri pra muktamar keenam dan milad ke-25 ICMI di di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (11/12).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
(dari kiri) Ketua Presidium ICMI Sugiharto, Ketua Dewan Penasehat ICMI Jimly Asshiddiqie, Ketua MPR Zulkifli Hasan dan Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menghadiri pra muktamar keenam dan milad ke-25 ICMI di di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Jumat (11/12).

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekian Muslim se-Indonesia (ICMI) Prof Dr Jimly Asshiddiqie menegaskan tidak akan ada money politic dalam pemilihan Ketua Umum ICMI dalam Muktamar VI.

"Di ICMI tidak terlalu ketat persaingannya, siapa yang mau silahkan dan yang dipilih cuma tujuh orang, nanti tujuh itu yang memilih satu orang Ketua Umum. Nggak ada money politic," kata Jimly di Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (12/12).

Jimly menjelaskan, ICMI berbeda dengan Partai Politik (Parpol), meski banyak dari anggotanya berasal dari parpol. Namun, dalam ICMI, lanjutnya mengedepankan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil keputusan.

Ke depannya, seperti yang disampaikan Wakil Presiden Jusuf Kalla, ICMI harus bersungguh-sungguh menggerakkan kewirausahaan dan bisnis.

"Harus diperluas, jangan hanya bicara sistem keuangan syariah, dan uangnya tapi bagaimana pengusaha kecil, menengah, dan baru bisa tumbuh terus supaya gerakan kewirausahaan menjadi cita-cita banyak orang. Jadi rakyat indinesia jangan hanya mikir menjadi politikus tapi pengusaha," lanjutnya.

Begitu pun mahasiswa, yang ia minta jangan hanya berpikir politik saja, bamun juga bagaimana caranya menjadi pengusaha yang sukses. Ia menilai, moral bangsa Indonesia turun di segala bidang, baik politik dan ekonomi.

"Kira harus benahi, tema akhlak yang kita bicarakan bagaimana akhlak mulia dikongkritkan dalam etika berbangsa supaya misalnya semua pejabat, pengusaha tahu bedakan mana urusan dinas dan mana urusan pribadi," sambung dia.

Tumpang tindih antara jabatan dengan pribadi, ia katakan sebagai konflik kepentingan yang menjadi sumber korupsi. Salah satunya ia katakan soal kisruh Freeport.

"Ya itu salah satu (Kasus Freeport), tapi bukan cuma itu. Setiap hari kita menonton konflik kepentingan terjadi di mana-mana, politik dan bisnis," katanya menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement