Ahad 17 Jan 2016 13:00 WIB

Syekh Tengku Hasan PENCABUT KUKU KEKUASAAN BELANDA

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,

Di samping ilmu syariat, ia juga berwawasan tasawuf. 

Menjadi gerbang ma - suk nya Islam ke bumi nusantara dari arah Barat, Aceh memang layak menyandang ju lukan Serambi Mak kah. Sejarah mencatat, wilayah ini sangat kental dan identik dengan penera- pan syariat dan tentu saja tanah \"ren cong\"

ini kaya dengan deretan ulama pejuang karismatik yang berkaliber internasional.

Aceh menjadi wilayah yang tidak ter - sentuh secara sistematis oleh kolonialisme Belanda sepanjang perang revolusi fisik (1945-1949). Padahal, ketika itu pengaruh Belanda sudah mendominasi di se tiap wilayah di Nusantara sehingga secara de facto, wilayah RI sudah kembali di duduki Belanda pascaproklamasi kemerdekaan.

Nama Syekh Tengku Hasan termasuk dalam deretan ulama pejuang itu. Tokoh ber nama lengkap Tengku Hasan bin Teung ku Muhammad Hanafiyyah ini men jadi pelopor dan pemegang estafet perjuangan ulama terdahulu yang tidak memberikan kesempatan Belanda menan- capkan kuku kekuasaannya di Aceh.

Salah satu pendirian tegas yang sangat membekas di ingatan masyarakat Aceh adalah ketika tokoh kelahiran Gampong Langgoe Meunasah Keutumbu, Mukim Sangeue, Kabupaten Pidie pada 13 Rajab 1304 H/18 April 1886 M ini mengeluarkan \"Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh\"

pada 15 Oktober 1945.

Maklumat yang ditulis menggunakan bahasa Arab itu diba gi - kan kepada seluruh ma - sya rakat Aceh dan wilayah Sumatra seba - gai ben tuk dukungan ula ma Aceh terhadap ke mer de kaan Republik Indo ne sia yang telah di - prok la mir kan Presiden Sukarno. 

Inti maklumat yang ber - nilai fatwa bahwa perjuangan mempertahankan kemer dekaan Indonesia adalah sama dengan perjuangan suci yang disebut perang sabil (jihad fi sabilillah).

Selain itu, mak- lumat juga mene - ruskan perjuangan Aceh terdahulu, se - perti perjuangan Teng ku Chik di Tiro dan pahlawan pe - juang kemer dekaan lainnya. Keberadaan maklumat berdampak positif bagi Pemerintah Indonesia. Berbagai dukungan fisik dan materiil rakyat Aceh untuk membiayai perjuangan bangsa Indonesia tak terbendung.

Dukungan rakyat ini sangat penting bagi bangsa Indonesia. Ketika ke Aceh pada Juni 1948, Sukarno dengan lantang menyatakan bahwa Aceh dan segenap rakyatnya adalah modal pertama bagi kemerdekaan RI.

Berguru Terlahir dari keluarga religius, putra dari pasangan Tengku Muhammad Hana - fiy yah (Teungku Chik Krueng Kalee I atau Teungku Haji Muda) dan Nyak Hafsah bin ti Teungku Syekh Ismail ini mendapat di dikan langsung dari kedua orang tuanya itu.

Sang ayah adalah pengasuh Pesantren Krueng Kalee di Kabupaten Aceh Besar.

Bahkan, keberanian, ketegasan, dan ke - teguhan memegang prinsip ia warisi da ri sang ayah. Tengku Muhammad yang ak - rab dengan Tengku Chik Di Tiro terkenal dengan sikap antikolonialisme Belanda.

Berkat arahan orang tua, Syekh Hasan berangkat ke Kedah, Malaysia. Ia belajar kepada Syekh Muhammad Arsyad, tokoh asli Aceh yang menjadi pemimpin Pondok Yan, Kedah, pada 1900. Setelah menimba ilmu kurang lebih hampir 10 tahun, tepat- nya pada 1910, Syekh Hasan bertolak ke Makkah.

Lawatannya ke Tanah Suci tersebut tak hanya bertujuan untuk berhaji, tapi juga kepentingan berguru ilmu agama.

Selama enam tahun, ia belajar ke sejum- lah tokoh di Makkah. Di antaranya Syekh Ahmad Syatha ad-Dimyathi, Sa`id Sun - bul (Mufti Syafi`i Makkah), `Abdullah Is - mail, Hasan Zamzami, Utsman bin Muhammad Fadhil Aceh, dan Yusuf bin Ismail an-Nabhani. Syekh Hasan konon gemar menekuni ilmu falak. Atas kepi- awaiannya di bidang ini, ia dijuluki al- Aasyie al-Falaki.

Tokoh bergelar ma\'rifatullah atau al- arif billah ini kembali ke Kedah pada 1916 dan sempat mengabdi mengajar di Pesantren Yan. Hingga akhirnya, atas desakan pamannya, ia pulang ke tanah kelahirannya dan didaulat meneruskan kepemimpinan Pesantren Krueng Kalee.

Di bawah asuhannya, Krueng Kalee semakin terkenal sebagai pusat pen- didikan Islam yang melahirkan banyak tokoh ulama. 

Produktif Syekh Hasan juga terkenal produktif.

Sejumlah karya berhasil ia tulis antara lain Risalah Lathifah fi Adabi adz-Dzikry.

Kitab yang diterbitkan Pustaka Aceh Raya Banda Aceh pada 1958 ini berisikan petunjuk Samadiyah dan tahlil, yang dia- malkan oleh wali-wali Allah. Misalnya, tentang fadilah kalimat tahlil yang akan mengantarkan pengamalnya ke surga.

Ada pula fadilah surah al-Ikhlas yang jika dibaca 10 ribu kali akan dibebaskan dari api neraka.

Kedua, kitab Jawahir al-Ulum fi Kasyaf al-Ma\'lum. Karya yang dikarang pada 1334 H ini mengupas fadilah menun- tut ilmu pengetahuan ditinjau dari kaca- mata tasawuf dengan tebal 300 halaman.

Sedangkan ketiga, kitab An\'amat al- faidhah fi Isti\'mal Qa\'idat ar- Rabithah.

Ditulis pada 1327 H dengan tebal sekitar 35 halaman, kitab ini membahas tentang keterikatan sanad belajar dan hubungan antara guru dan murid yang berkoneksi ke Rasulullah SAW. 

Kitab terakhir, yaitu Siraj as- Salikin `ala Minhaj al-\'Abidin. Dengan tebal 300 halaman, karya yang digarap pada 1332 H ini menjelaskan Minhaj al-\'Abidinka - rangan Imam al-Ghazali. Tokoh yang ber - wawasan dan berlaku tasawuf ini wafat pada 19 Januari 1973 dengan mening- galkan jejak yang berharga bagi agama, bangsa, dan negara. (c62, ed:nashih nashrullah)

"Bukti pendirian tegas Syekh Hasan yang membekas di ingatan masyarakat Aceh \"Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh" 

yang penting bagi perjuangan bangsa Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement