Senin 11 Apr 2016 10:18 WIB

WWF Minta Ekowisata Mangrove Diawasi

Red: Indira Rezkisari
Pengunjung menikmati suasana hutan mangrove di ekowisata mangrove Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (24/12). Ekowisata mangrove Karangsong menjadi tujuan wisata baru yang menyuguhkan wawasan tentang ekosistem mangrove kepada para pengunjung.
Foto: Antara
Pengunjung menikmati suasana hutan mangrove di ekowisata mangrove Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (24/12). Ekowisata mangrove Karangsong menjadi tujuan wisata baru yang menyuguhkan wawasan tentang ekosistem mangrove kepada para pengunjung.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- WWF Indonesia, lembaga yang fokus melestarikan sumber kelautan dan perikanan, mendesak Pemerintah Kota Kupang tetap mengawasi pemanfaatan mangrove yang sudah dijadikan ekowisata daerah itu.

"Apa pun alasannya, ekowisata mangrove yang ada di kawasan sepanjang Pantai Oesapa itu harus tetap dijaga agar tidak merusak ekosistem yang ada di kawasan itu," kata Koordinator Monitoring Biota Laut WWF Indonesia, Khaifan, Senin (11/4).

Dia mengatakan, itu menjawab geliat wisata Kota Kupang yang menjadikan kawasan mangrove di Kelurahan Oesapa Barat sebagai salah satu obyek wisata mangrove dan alternatif destinasi wisata warga di wilayah ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) itu. Kawasan pantai yang memiliki hutan mangrove, bukan merupakan kawasan tertutup untuk dijadikan sebagai salah satu obyek wisata laut. Namun, katanya, pemanfaatannya harus bisa dijaga agar keberlanjutan ekosistem laut bisa terus terlindungi.

Khaifan menjelaskan, mangrove atau bakau secara ekonomis memiliki manfaat, sebagai penghasil beberapa jenis kayu yang berkualitas baik, dan juga hasil-hasil bukan kayu atau yang biasa disebut dengan hasil hutan bukan kayu (HHBK), berupa arang kayu, tanin, bahan pewarna dan kosmetik, serta bahan pangan dan minuman.

Termasuk pula di antaranya adalah hewan-hewan yang biasa ditangkapi seperti biawak air (Varanus salvator), kepiting bakau (Scylla serrata), udang lumpur (Thalassina anomala), siput bakau (Telescopium telescopium), serta berbagai jenis ikan belodok.

Namun, kata dia, manfaat yang lebih penting dari hutan bakau adalah fungsi ekologisnya sebagai pelindung pantai, habitat berbagai jenis satwa, dan tempat pembesaran (nursery ground) banyak jenis ikan laut. Juga berfungsi melindungi garis pantai dari abrasi atau pengikisan, serta meredam gelombang besar termasuk tsunami.

Di Jepang, salah satu upaya mengurangi dampak ancaman tsunami adalah dengan membangun green belt atau sabuk hijau berupa hutan mangrove. Sedangkan, di Indonesia, sekitar 28 wilayah dikategorikan rawan terkena tsunami karena hutan bakaunya sudah banyak beralih fungsi menjadi tambak, kebun kelapa sawit, dan alih fungsi lain.

Untuk itulah, penting bagi Pemerintah Kota Kupang terus menjaga dan melestarikan hutan bakau yang ada di sepanjang pesisir wilayah ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur itu agar semua fungsi yang ada bisa dimanfaatkan. "Kita tidak ingin ada manfaat lainnya, tetapi fungsi lainnya diabaikan. Makanya penting untuk dijaga kelestariannya," kata Khaifan.

Ketika ditanya soal jumlah kawasan hutan bakau yang ada di sepanjang pantai Kota Kupang, dia mengaku sedang melakukan pendataan.

Wali Kota Kupang Jonas Salean di tempat terpisah mengaku telah menginstruksikan dinas teknis untuk tetap merawat dan memelihara kawasan ekowisata mangrove itu demi keberlanjutan ekosistem yang ada di kawasan itu. Menurut Jonas, kawasan mangrove adalah bagian penting dari wahana dan lokasi pengembangbiakan jenis-jenis ikan yang ada.

Karena harus tetap dijaga aman, agar perkembang biaakan ikan di kawasan laut itu tetap terpelihara baik.

"Merawat dan menjaga kawasan mangrove itu sudah menjadi tenggung jawab dan kewajiban pemerintah, tentu juga masyarakat serta elemen masyarakat lainnya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement