Sabtu 14 May 2016 13:27 WIB

Yang Abadi dari Wafatnya Ulama

Red: Achmad Syalaby
Buku Iqro
Foto: Antara
Buku Iqro

Oleh Rakhmad Zailani Kiki (Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre)

REPUBLIKA.CO.ID, Apa yang abadi dari wafatnya seorang ulama? Salah satunya adalah karya tulisannya. Pepatah Yunani mengatakan: Verba volant, scripta manent, yang terucap akan hilang, terbang, yang tertulis akan abadi.

 

 

Kita tidak usah jauh-jauh ke Timur Tengah atau keluar negeri untuk membenarkan pepatah Yunani tersebut, cukup di Indonesia saja, kita dapat membuktikannya. Misalnya, dari sosok seorang ulama asal Yogyakarta yang bernama KH As'ad Humam yang wafat pada tanggal 2 Februari 1996.

Walau dia telah wafat 20 tahun lalu, namun hampir setiap orang di  Indonesia mengenal metode Iqra yang disusunnya yang memudahkan siapapun untuk bisa membaca Alquran. Buku metodenya yang berjudul  Buku Iqro  Cara Cepat Belajar Membaca Alquran juga menjadi salah satu buku yang tetap populer, laris dibeli, di Indonesia sampai saat ini. Dari bukunya tersebut, beratus ribu, bahkan jutaan anak Muslim bisa dengan mudah membaca Alquran. 

Contoh lain adalah sosok Drs. Moh. Rifa'i yang masih belum dikenal riwayat hidup dan kiprah keulamaannya sampai saat ini. Namun buku karya tulisnya bersampul warna ungu dengan ilustrasi orang shalat  yang berjudul Risalah Tuntunan Shalat Lengkap dan pertama kali diterbitkan oleh PT Karya Toha Putra Semarang tanggal 19 Dzulqa'idah 1396 atau 10 November 1976 menjadi buku yang tetap digemari sampai saat ini. Sejak buku ini diterbitkan, tidak sedikit dari umat Islam di Indonesia yang mempelajari shalat dan dapat melaksanakan shalat untuk pertama kali karena membaca buku ini.  

Khusus di Jakarta atau di Tanah Betawi, ada dua sosok yang menjadi contohnya, yaitu Habib Utsman bin Yahya dan Syekh Salim bin Sumair al-Hadhrami. Habib Utsman bin Yahya yang wafat seratusan tahun yang lalu masih terasa hadir mengajarkan tentang dua puluh sifat Allah SWT dari kitabnya yang  berjudul Kitab Sifat Dua Puluh yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Kitab ini masih diajarkan di berbagai majelis taklim di Jakarta, seperti di Majelis Taklim Masjid Kramat Luar Batang, Jakarta Utara. 

Sedangkan Syekh Salim bin Sumair al-Hadhrami, seorang ulama, habib Betawi terkemuka yang berasal dari Hadhramaut, Yaman dan bermazhab Syafi`i telah ratusan tahun lalu meninggal dunia di tanah Betawi, tepatnya pada tahun 1271 H (1855 M).  Namun kitab yang ditulisnya yang berjudul Safinatun Najah yang lengkapnya berjudul Safinatun Najah Fiima Yajibu `ala Abdi Ii Maulah (perahu keselamatan di dalam mempelajari kewajiban seorang hamba kepada Tuhannya) masih tetap dibaca dan diamalkan isinya oleh sebagian kaum Muslimin di Indonesia.

Keempat buku ini dengan mudah kita temui di di sebagian tempat penjualan mushaf Alquran dan buku-buku Islam, dari kelas toko sampai kelas lapak atau emperan, khususnya di Jakarta. Inilah bentuk keabadian dari ulama yang sudah wafat. Karya tulisnya masih tetap dibaca walau mereka sudah wafat puluhan bahkan ratusan tahun lamanya. Membaca karya-karya mereka, seakan-akan mereka masih hidup mengajari kita sebagai pembacanya. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement