Selasa 17 May 2016 06:00 WIB

Perundingan Roem-Roijen 1949

Red: Maman Sudiaman
Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Antara 14 April-7 Mei 1949, Perundingan Roem-Roijen yang alot dilangsungkan. Sukarno-Hatta dan banyak pemimpin yang lain ditangkap dan diasingkan penjajah melalui sebuah serangan biadab atas Ibu Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1948.

Belanda masih saja ingin meneruskan ambisi kolonialnya setelah dihalau pasukan Jepang pada Maret 1942. Sekiranya mau membaca arah angin politik internasional, sebenarnya adalah sebuah ketololan bagi Belanda untuk kembali menjajah.

Indonesia tidak punya cara lain, kecuali mengobarkan perang kemerdekaan yang berdarah-darah antara 1945-1949. Perundingan Roem-Roijen adalah sisi diplomasi dari perang kemerdekaan itu, sekalipun pihak Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafruddin Prawiranegara dan tentara di bawah Jenderal Soedirman mencurigainya.

Bagi Belanda, ternyata memang amat berat melepaskan tanah jajahannya yang sebagian telah diperasnya sejak era VOC (Kompeni Hindia Timur) yang dibentuk awal abad ke-17. Kekalahan Belanda yang nyaris tanpa perlawanan oleh Jepang di Indonesia sangat memalukan Negeri Kincir Angin ini. Demikian rapuhnya benteng pertahanan Belanda itu sehingga dengan sangat mudah diobok-obok pasukan Jepang yang kemudian menjadi yang dipertuan selama 3,5 tahun (1942-1945) di Indonesia.

Penjajahan Jepang yang singkat itu telah meremukkan sebagian rakyat Indonesia melalui kerja paksa yang biadab demi mendukung gagasan hegemoninya untuk sebuah Asia Timur Raya. Namun, pada awal Agustus 1945 dengan atau tanpa bom atom, sebenarnya pihak Jepang sudah kehabisan energi perang untuk melawan sekutu di semua medan pertempuran. Dengan demikian, ledakan bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki dapat dipandang sebagai kebiadaban politik internasional atas negara yang hampir bertekuk lutut.

Belanda selalu mengkhianati perjanjian selama perang kemerdekaan itu, baik itu berupa Perjanjian Linggarjati November 1946 maupun Perjanjian Reinville Desember 1947-Januari 1948. Serangan Belanda atas Yogyakarta mendapat kritik dan kecaman tajam dari belahan dunia lain, termasuk dari Amerika Serikat.

Tanpa adanya serangan 19 Desember di atas, tidak akan pernah ada PDRI (22 Desember 1948-13 Juli 1949) dan Perundingan Roem-Roijen itu. Dan, juga tanpa perang kemerdekaan, Indonesia akan sunyi dari makam para pahlawan; juga kegaduhan hubungan sipil-militer tidak akan pernah dikenal dalam sejarah modern Indonesia, jika Belanda punya kearifan politik untuk tidak lagi ingin melanjutkan sistem penjajahannya.

Demikianlah, di Hotel Des Indes Jakarta dilangsungkan Perundingan Roem-Roijen itu yang diawasi oleh Komisi PBB untuk Indonesia di bawah pimpinan Merle Cochran dari Amerika Serikat. Delegasi Indonesia diketuai Mohamad Roem dengan anggota Ali Sastroamidjojo, Johannes Leimena, Djuanda, Soepomo, Latuharhary, Darmasetiawan, Sumarto, dan A Kusumaatadja dengan sekretaris AK Pringgodigdo. Turut pula St Sjahrir, Moh Natsir, dan Herling Laoh sebagai penasihat, tetapi Sjahrir tidak pernah mau hadir.

Mohammad Hatta (masih dalam status tahanan politik) dan Sultan Hamengkubuwono IX juga hadir dalam perundingan itu. Tampak sekali dalam struktur delegasi itu kerja sama yang erat antara mereka yang beragama Islam dan mereka yang beragama Kristen. Di pihak Belanda dipimpin oleh JH Van Roijen bersama anggota delegasinya pula.

Di antara hasil Perundingan Roem-Roijen itu adalah bahwa pihak Indonesia dan Belanda sepakat untuk menghentikan perang dan bersedia untuk melanjutkan perundingan di Den Haag yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) Agustus-Desember 1949.

Pihak Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Mohammad Hatta, pihak Belanda oleh Perdana Menteri Willem Drees dari Partai Buruh. Sisi lemah dari KMB ialah Indonesia seperti “terperangkap” dalam kurungan Republik Indonesia Serikat (RIS), sekalipun hanya berumur pendek. Akan tetapi, itulah kenyataan yang harus berlaku pada saat itu.

Roem yang tenang dan berdarah dingin telah merepotkan delegasi Belanda dalam perundingan itu. Inilah komentar lawan runding Roem, Van Roijen, saat Roem berusia 70 tahun.

"Dalam karier selama 40 tahun, saya jarang beranggar pedang dengan seorang yang semula sebagai lawan dalam perundingan-perundingan yang sulit, tetapi kemudian menimbulkan rasa hormat dan penghargaan seperti terhadap Dr Roem. Dalam pembicaraan-pembicaraan kami di tahun 1949, yang akhirnya menuju ke Konferensi Meja Bundar dan penyerahan kedaulatan, tuan Roem menunjukkan keluwesan, pengetahuan --dan yang lebih bernilai-- kebijaksanaan."

"Jika delegasinya telah menentukan sesuatu sikap, ia mempertahankannya dengan segala keteguhan, tetapi di samping itu ia tidak pernah ragu-ragu untuk membela persetujuan yang telah tercapai, yang ia pandang benar dan adil, juga terhadap yang memberi kuasa kepadanya." (Lihat Panitia Buku Peringatan Mohammad Natsir Mohamad Roem 70 Tahun, Mohamad Roem 70 Tahun, Pejuang-Perunding. Jakarta: Bulan Bintang, 1978, hlm 258).

Itulah Roem, seorang diplomat Indonesia moderat, bijak, tetapi teguh. Amat disesalkan kemudian, Roem yang tidak punya dosa politik terhadap bangsa ini malah pernah dipenjarakan dan dikucilkan dalam perpolitikan nasional. Sebuah tragedi politik yang jangan diulang lagi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement