Jumat 29 Jul 2016 04:16 WIB

Presiden Afsel Minta Kejelasan RUU Pengambilalihan Tanah

Red: Julkifli Marbun
Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma
Foto: Reuters
Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma

REPUBLIKA.CO.ID, CAPE TOWN -- Presiden Afrika Selatan (Afsel) Jacob Zuma belum lama ini meminta kejelasan ke parlemen mengenai proses penetapan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengambilalihan Tanah, aturan yang memungkinkan negara menguasai lahan tertentu guna mengatasi masalah kesenjangan rasial kepemilikan tanah.

Tanah merupakan isu sensitif di Afrika Selatan, negara dengan industri paling maju selama lebih dari dua dasawarsa sejak berakhirnya masa apartheid.

Lahan di negara itu masih banyak dimiliki warga berkulit putih.

Zuma mengatakan ia butuh kejelasan mengenai pengesahan draf ketentuan itu sebelum memutuskan untuk ikut menyetujuinya jadi Undang-Undang atau menyerahkannya kembali ke parlemen, terang pihak kepresidenan, Selasa lalu.

"Presiden Zuma sempat menerima petisi yang menentang penandatanganan RUU jadi UU dari sejumlah individu dan organisasi," tambahnya.

Dalam prosesnya sejak 2008, draf itu menerima kritik dari partai oposisi. Beberapa diantaranya menilai rancangan tersebut inkonstitusional.

Partai penguasa, Kongres Nasional Rakyat Afrika mengatakan, draf itu dapat mengatasi ketidakadilan yang terjadi selama dominasi warga kulit putih.

Akan tetapi, partai oposisi, Aliansi Demokratis meminta Zuma tak ikut mengesahkan draf, mengingat ketentuan itu tak mejamin kompensasi memadai sehingga memungkinkan adanya aksi penyalahgunaan.

Namun, para ahli menjelaskan, RUU itu tak memberi sinyal akan berujung seperti aksi perampasan lahan sebagaimana terjadi di negara tetangganya, Zimbabwe.

Banyak lahan garapan warga kulit putih di Zimbabwe diambil alih pemerintah dan diberikan kembali ke masyarakat kulit hitam yang sebelumnya tak punya tanah.

Ketidakpastian hukum di negara itu menyebabkan sejumlah penanam modal khawatir berinvestasi di sektor penting, industri pertambangan dan bidang lainnya.

Bahkan peringkat kredit negara itu dapat diturunkan jadi level "sampah," mengingat perekonomiannya berada di ambang resesi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement