Selasa 02 Aug 2016 08:11 WIB

BI: Kebijakan Moneter Butuh Stimulus Fiskal

Red: Nur Aini
 Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Warga melintas didekat logo Bank Indonesia, Jakarta Pusat, Rabu (1/7).

REPUBLIKA.CO.ID,NUSA DUA -- Deputi Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan kebijakan moneter membutuhkan instrumen kebijakan fiskal untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi yang sedang dialami oleh Indonesia.

"Bergantung pada kebijakan moneter itu penting. Akan tetapi, itu tidak cukup, perlu ada optimalisasi policy mix dari kebijakan moneter, stimulus fiskal, dan reformasi struktural," kata Perry di Nusa Dua, Bali, Selasa (2/8).

Perry mengatakan bahwa bank sentral telah berhasil menjaga stabilitas ekonomi sejak 2013 untuk menghadapi ketidakpastian global di berbagai negara maju maupun berkembang, yang telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kebijakan moneter tersebut tidak bisa berdiri sendiri karena untuk meningkatkan permintaan dan penawaran yang dibutuhkan untuk mendorong konsumsi, diperlukan stimulus fiskal serta reformasi struktural yang dilakukan pemerintah. "Stimulus fiskal dan reformasi struktural bisa menciptakan 'demand' dan mendorong 'supply'. Itu yang sudah dilakukan pemerintah melalui deregulasi peraturan dengan penerbitan 12 paket kebijakan ekonomi," ujar Perry.

Menurut Perry, bauran kebijakan antara moneter dan makro itu bisa menjaga stabilitas nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi serta memiliki manfaat tidak hanya jangka pendek, tetapi juga dalam jangka panjang. "Dampaknya tidak hanya jangka pendek, tetapi juga jangka panjang karena ini berpengaruh pada pembangunan infrastruktur, insentif pajak, kemudahan perizinan, dan industrialisasi," katanya.

Selain itu, dia menambahkan bahwa perekonomian Indonesia bisa memanfaatkan masuknya aliran dana repatriasi dari program amnesti pajak karena modal tersebut bisa bermanfaat untuk menggerakkan sektor investasi swasta dan pasar keuangan. Perry mengatakan bahwa bank sentral telah memiliki instrumen untuk menampung dana repatriasi tersebut karena dari sisi kebijakan, Indonesia telah memiliki kerangka kerja yang jelas dan posisi ekonomi yang lebih baik daripada negara-negara lain.

"Sekarang kondisinya lebih bagus daripada dahulu karena pasar tambah berkembang dan punya pengalaman. BI sudah siap karena mempunyai referensi itu. Tinggal bagaimana memaksimalkan manfaat 'tax amnesty' untuk stabilitas dan pertumbuhan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement