Selasa 20 Sep 2016 06:32 WIB

Kriminolog Ragukan Teori Gestur Guru Besar UI Soal Jessica

Red: Bilal Ramadhan
Terdakwa Jessica Kumala Wongso
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Terdakwa Jessica Kumala Wongso

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kriminolog Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa meragukan teori gestur yang digunakan Guru Besar Kriminologi UI Ronny Rahman Nitibaskara atas terdakwa pembunuhan Wayan Mirna Salihin, Jessica Kumala Wongso.

Eva, yang menjadi saksi ahli meringankan untuk terdakwa, mengatakan seharusnya pengamatan gestur digunakan oleh psikolog, bukan kriminolog. "Kalau tidak memiliki kemampuan psikologi tentu hasilnya akan dipertanyakan," ujar Eva di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (19/9).

Dia menambahkan, ilmu kriminolog tidak bisa dilepaskan dari cabang ilmu pengetahuan lainnya, seperti psikologi dan antropologi. Namun, menurut Eva, terukurnya data-data dapat diperoleh melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif.

Ia sendiri lebih memilih mengedepankan keilmuan hukum pidana dan sosiologi sebelum menarik kesimpulan atas seseorang yang diduga melakukan tindakan melanggar hukum.

Adapun pada persidangan sebelumnya, Ronny Nitibaskara yang hadir sebagai saksi ahli dari pihak JPU mengatakan dari gestur Jessica di meja nomor 54 di Kafe Olivier, dabat dilihat tanda-tanda kecemasan.

"Sejak menduduki meja sekitar pukul 16.22 WIB, terlihat dari CCTV tujuh, terdakwa sering mengibaskan rambut yang merupakan indikasi seseorang menenangkan diri. Kemudian dia pun menoleh ke kiri dan ke kanan, menunjukkan tanda-tanda kecemasan," ujar Ronny ketika itu.

Selain itu dia juga mengaitkan dengan gerak-gerik Jessica di meja nomor 54 yang menggeser tas kertas (paper bag), pergerakan tangan dan perpindahan posisi duduk sampai korban dan Hani tiba pukul 17.16 WIB.

Menurut Ronny, kecemasan dan rangkaian gestur itu menunjukkan rasa tidak nyaman sembari menunggu 'sesuatu yang akan terjadi'. "Urutan-urutan gestur memperlihatkan terdakwa merencanakan sesuatu. Dia cemas jika korban tidak datang dan rencananya gagal," kata dia.

Selain karena gestur, Eva juga berbeda pendapat dengan Ronny terkait penggunaan ilmu fisiognomi yang bisa membaca karakter dari wajah. Ronny, saat dihadirkan sebagai saksi ahli, menyatakan orang dengan jarak mata dan alis seperti Jessica memiliki sifat pemilih dan selektif serta seksama dalam merespons tindakan dan pikiran.

Saat memilih teman, menurut dia, orang semacam itu biasanya berharap pertemanannya bisa langgeng kecuali ada hal yang bisa memutuskan hubungan seperti konflik mendalam atau pengkhianatan.

Sementara menurut Eva, fisiognomi hampir tidak pernah digunakan dalam menyimpulkan suatu kasus, bahkan di dunia internasional karena penuh dengan asumsi.

"Saya tidak pernah melihat penggunaan fisiognomi di Indonesia. Berdasarkan literatur yang saya baca, ilmu ini pernah digunakan oleh Jaksa di Amerika Serikat pada tahun 1913, tetapi hasilnya dinyatakan tidak valid," tutur dia.

Wayan Mirna Salihin sendiri tewas pada Rabu, 6 Januari 2016 di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta. Korban diduga meregang nyawa akibat menenggak kopi es vietnam yang dipesan oleh terdakwa Jessica Kumala Wongso.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement