Ahad 18 Dec 2016 16:41 WIB

Revisi UU Buruh Migran Belum Menjawab Masalah Utama Buruh

Rep: Dessy Suciati Saputri/ Red: Esthi Maharani
Aktivis dari Migrant Care menggelar aksi memperingati Hari Buruh Migran Internasional saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (18/12).
Foto: Republika/ Wihdan
Aktivis dari Migrant Care menggelar aksi memperingati Hari Buruh Migran Internasional saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (18/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presidium Nasional KK Perempuan Buruh Migran, Nadiroh As Sariroh menilai rumusan dalam Revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia masih belum menjawab masalah yang dialami oleh para buruh migran.

Berdasarkan catatan Koalisi Perempuan Indonesia, terdapat sejumlah masalah yang masih sering kali dihadapi oleh para perempuan buruh migran.

"Dari aspek substansi, rumusan pasal-pasal dalam RUU PPMI dan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) masih belum menjawab masalah-masalah yang dialami oleh pekerja maupun buruh migran dan belum menjamin hak semua pekerja atau buruh migran secara inklusif," kata NadIroh di Jakarta, Ahad (18/12).

Masalah yang dialami perempuan buruh migran tersebut yakni, pertama, perdagangan orang. Menurut dia, perdagangan orang kerap terjadi melalui jalur rekruitmen dan penempatan pekerja atau buruh migran. Jumlah perempuan buruh migran yang menjadi korban pun tercatat terus meningkat disertai dengan kekerasan dan eksploitasi.

Masalah kedua yakni tak adanya jaminan akses terhadap keadilan. NadIroh mengatakan buruh migran tidak mendapatkan bantuan hukum saat berhadapan dengan masalah hukum karena berbagai alasan seperti kekerasan, kontrak kerja, eksploitasi, dll.

Selain itu, para buruh migran juga dinilai rentan kehilangan kewarganegaraan. Masalah ini sering dialami oleh buruh migran dan anak-anak yang mereka lahirkan karena ketidaktahuan mereka terhadap syarat dan prosedur untuk mempertahankan kewarganegaraan mereka.

Anak-anak buruh migran yang dilahirkan di luar negeri tidak terdaftar dan tidak memiliki akte kelahiran. Masalah keempat, yakni perlindungan bagi buruh migran masih belum inklusif. UU no39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri belum memberikan jaminan perlindungan bagi pekerja yang bekerja di sektor konstruksi, perkebunan, perikanan, dan pelayaran.

Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (RUU PPMI) juga belum menjamin perlindungan bagi buruh migran di sektor tersebut di mana sering kali membuat para buruh migran tereksploitasi.

Masalah yang dialami perempuan buruh migran lainnya yakni pungutan liar dan pemotongan gaji ilegal. NadIroh mengatakan sebagian besar buruh migran mengalami pungutan liar sejak proses rekruitmen hingga penempatan di luar negeri. Di samping itu, mereka juga mendapat perlakuan pemotongan gaji secara ilegal selama tiga hingga sembilan bulan.

Karena itu, ia mengatakan keterlibatan masyarakat sangat penting dalam proses pembahasan RUU PPMI ini.

"Keterlibatan masyarakat sangat penting untuk kepentingan masyarakat, khususnya untuk buruh migran," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement