Sabtu 24 Dec 2016 13:18 WIB

Simbol Kehidupan Damai dari Tanjung Priok

Red: Ilham
Masjid Al Muqarrabien berdempetan dengan GMIST Mahanaim di Jalan Raya Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Foto: Republika/Erik Purnama Putra
Masjid Al Muqarrabien berdempetan dengan GMIST Mahanaim di Jalan Raya Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika.

Laode Saprudin masih ingat, umat Islam yang selesai menunaikan shalat Jumat keluar dari Masjid Al Muqarrabien berbarengan dengan jemaat yang baru saja menunaikan perayaan Natal di Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud (GMIST) Mahanaim. Hal itu dapat dimaklumi, lantaran keberadaan Masjid Al Muqarrabien berdempetan dengan GMIST Mahanaim di Jalan Raya Enggano, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Kedua tempat ibadah tersebut hanya dipisahkan sebuah tembok. Bagi Laode, hidup saling toleran dengan pemeluk agama lain sudah mendarah daging di lingkungan warga Tanjung Priok. Menurut dia, sikap toleransi antarumat beragama di wilayahnya tidak perlu dipertanyakan lagi dan bukan sekadar slogan ucapan semata.

"Bisa di-cross check saya lupa persisnya beberapa tahun lalu, pada waktu itu hari Jumat, jemaat gereja setelah Natalan keluar bareng-bareng dengan umat Muslim yang selesai Jumatan. Keduanya sama-sama ceramah, tidak ada sindir-sindiran dan itu tanda toleransi bisa hidup berdampingan," kata warga Jalan Enggano Nomor 10 RT 006 RW 016, Tanjung Priok ini saat berbincang dengan Republika.co.id, kemarin.

Laode mengaku tahu sejarah pendirian masjid dan gereja yang dilakukan berbarengan tersebut. Menurut dia, pembangunan tempat ibadah itu merupakan aspirasi karyawan dan keluarga besar Ditjen Perhubungan Laut Kemehub yang berkantor di Tanjung Priok. Dia mendapatkan cerita itu lantaran ayahnya yang berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara merupakan pegawai Kemenhub. Yang unik, kata dia, luas lahan masjid dan gereja ukurannya sama demi alasan keadilan.

"Sejak saya kecil, bangunan masjid dan gereja ini sudah ada. Katanya pembangunanannya berbarengan. Ini tanah milik Ditjen Perhubungan Laut, di belakangnya dulu ada asrama. Pegawai minta dibangunkan tempat ibadah agar kalau beribadah tidak perlu jauh-jauh, karena waktu itu sepeda saja masih langka," ujar laki-laki kelahiran Jakarta, 14 November 1973 ini.

Menurut Laode, warga sekitar sangat senang dengan adanya bangunan masjid dan gereja yang berdiri berdampingan. Dia menilai, Indonesia yang penduduknya beragam, khususnya warga Tanjung Priok yang banyak didominasi pendatang bisa hidup rukun tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Buktinya, kata dia, tidak pernah ada kasus pelarangan beribadah bagi jemaat gereja atau pemeluk agama lain yang dilakukan umat Islam. Hal itu terjadi lantaran warga yang tinggal di Tanjung Priok mengedepankan kearifan di tengah perbedaan agama, suku, etnis, dan budaya. "Enak bisa hidup bersama. Tak pernah ada orang berselisih. Warga sini beragama secara sportif, yang membedakan hanya Islam mayoritas dan agama lain minoritas," ucap Laode.

Warga Jalan Bugis, Tanjung Priok, Riki Biki yang ditemui di area Masjid Al Muqarrabien mengatakan, adanya masjid dan gereja yang berdampingan bisa menjadi monumen pembelajaran bagi masyarakat. Dia mengatakan, penduduk Jakarta itu memang beragam dan memiliki keyakinan berbeda-beda. Namun, perbedaan itu harus dikelola pemerintah dengan baik lantaran berpotensi menjadi kekuatan. Dia bersyukur, interaksi warga asli dengan para pendatang dari berbagai daerah bisa memunculkan kehidupan harmonis yang otentik, yang dibuktikan dengan tidak adanya konflik berlatar belakang SARA.

"Kerukunan warga di sini itu ada kaitannya dengan Bhinneka Tunggal Ika, meski berbeda-beda tujuannya tetap satu. Yang penting masing-masing masyarakat bisa menjaga diri tidak timbul perpecahan kayak di Kosovo. Terbukti di Indonesia tidak ada kan yang terpecah-pecah? Semuanya damai," kata alumnus Jurusan Hubungan Internasional Universitas Nasional 1988 tersebut.

Riki menilai, seharusnya pemerintah melihat masjid dan gereja yang berdampingan itu bisa dijadikan sebuah ikon toleransi antarumat beragama. Pasalnya, letak Masjid Al Muqarrabien dan GMIST Mahanaim ini benar-benar berdampingan, beda dengan Masjid Istiqlal dan Gereja Katredal Jakarta yang dipisahkan sebuah jalan.

Karena itu, ia mendukung dua tempat ibadah yang merupakan 'saksi bisu' ini ditetapkan sebagai simbol perdamaian dan toleransi warga Jakarta. "Karena ini sepertinya satu-satunya di Jakarta tempat ibadah beda agama berdampingan, selain Istiqlal dan Katredal di Jakarta Pusat," ucap Riki.

Bu Hajjah Aisah (69 tahun) yang membuka warung di area Masjid Al Muharrabien mengatakan, warga Tanjung Priok itu memiliki sifat rukun, meski berbeda agamnya. Toleransi pemeluk Islam dan Kristen, sambung dia, sudah dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dengan saling menjalin silaturahim. Khusus untuk pengurus Masjid Al Muharrabien dan GMIST, ungkap dia, kadang bertemu dan berdiskusi dalam momen tertentu untuk semakin memperkuat hubungan satu sama lain.

Pertemuan antarpemuka agama itu ternyata dipahami dan diterapkan masyarakat yang berbeda agama dengan saling bertenggang rasa dan menghormati satu sama lain dalam hal beribadah. "Dulu pernah ibadah barengan, lupa pastinya. Orang-orang sini rukun-rukun saja. Pihak gereja kalau bulan puasa ngadain buka bersama dan kasih makanan. Kalau di gereja ada acara atau kebaktian, parkirnya di sini, di masjid juga," ujar Bu Aisah.

Dia menerangkan, pernah melihat ada kunjungan beberapa turis mancanegara yang datang hanya untuk melihat Masjid Al Muqarrabien dan GMIST Mahanaim. Mereka rombongan menggunakan bus, dan Bu Yahya tak tahu mengapa para turis itu datang ke Jalan Enggano. Hanya saja, ia menduga, para turis itu ingin melihat realitas kehidupan warga yang bisa menerima keberadaan masjid dan gereja bangunannya berdempetan.

"Ini pengurus masjid dan gereja menjalin kerja sama yang baik dan saling berkunjung. Jadinya ada beberapa kunjungan dari negara Amerika, Australia, Jepang, dan negara lain ke sini untuk melihat masjid dan gereja yang berdampingan," kata Bu Aisah.

Sementara, Pastor Roni yang ditemui Republika.co.id di pintu gerbang GMIST Mahanaim mengatakan, gereja hanya buka pada waktu tertentu sesuai jadwal yang sudah ditentukan. Adapun, sehari-hari pengurus berkantor di bagian belakang gereja. Menurut dia, selama ini tidak ada masalah yang muncul terkait agama terhadap jemaat gereja.

Kehidupan harmoni berlangsung selama puluhan tahun di Tanjung Priok. Pastor Roni mengatakan, GMIST Mahanaim sedang mempersiapkan diri untuk menyambut perayaan Natal. "Kalau hari-hari biasa bukanya Minggu dan kalau ada kebaktian," katanya.

Salah satu pengurus GMIST Mahanaim yang enggan menyebutkan namanya, mengatakan, gereja beroperasi lebih dulu pada 1957 dan masjid di sebelahnya berdiri setahun kemudian. Dia bersyukur, selama ini hubungan jemaat gereja dan umat Islam terjalin baik sehingga tidak ada gangguan apapun. Menurut dia, toleransi benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari di Tanjung Priok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement