Jumat 31 Mar 2017 00:47 WIB

6 Tahun ISPO Masih Belum Efektif, Ini Penyebabnya

Rep: Melisa Riska Putri/ Red: Budi Raharjo
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2).
Foto: Antara/FB Anggoro
Hamparan perkebunan kelapa sawit membentuk pola terlihat dari udara di Provinsi Riau, Selasa (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Enam tahun pemberlakuan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tampaknya belum efektif. Sebab sertifikasi tersebut masih belum bisa menghilangkan dampak-dampak negatif yang ditimbulkan akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Untuk itu, Forest Watch Indonesia (FWI) menuangkan temuannya selama ISPO 6 tahun ini dalam sebuah buku. Direktur Eksekutif FWI Soelthon Gussetya Nanggara mengatakan, dalam laporannya, perkebunan kelapa sawit telah menyita 11,6 juta hektare lahan Indonesia. Hanya 13 persen areal yang telah menerapkan sistem ISPO.

Sistem ISPO ini merupakan upaya pemenuhan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. "Lebih sayang lagi, yang telah menerapkan sistem ISPO pun ternyata belum terbebas dari deforestasi dan konflik sosial," ujarnya di Jakarta, Kamis (30/3).

Hingga batas akhir kewajiban ISPO per 31 Desember 2014 yang diperpanjang sampai September 2015, hanya ada 225 dari 2.302 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah bersertifikat ISPO. Angka tersebut hanya mencakup 1,5 juta hektare. Sementara areal perkebunan kelapa sawit yang belum bersertifikat ISPO memiliki luas total yang lebih besar, yaitu 10,1 juta hektare.

Temuan lain adalah prinsip dan kriteria yang dikembangkan di dalam standar ISPO belum mampu mencegah deforestasi, menyelesaikan tumpang tindih izin pemanfaatan lahan, serta menjaga kelestarian ekosistem gambut karena adanya pembangunan perkebunan sawit. Termasuk untuk memberikan perlindungan bagi hak-hak masyarakat adat (lokal) sehingga tidak menimbulkan konflik tenurial di kemudian hari.

Dalam periode 2009-2013 setidaknya 516 ribu hektare lahan terdeforestasi di dalam konsesi perkebunan kelapa sawit atau 22 persen dari total deforestasi di dalam wilayah konsesi. "Padahal pada periode itu pula ISPO dibentuk (2009), diperkenalkan (2011), dan mulai diterapkan sejak tahun 2012," katanya.

Pengkampanye FWI Linda Rosalina mengatakan, meski sudah ada perusahan yang mendapatkan ISPO, nyatanya belum terhindar dari konflik dan deforestasi. Contohnya PT Jabontara Eka Karsa yang melakukan pembukaan lahan di area konservasi di area curam dan tepi anak sungai.

"Ternyata luas area tumpang tindih secara nasional ada 14,7 juta hektare. Masih banyak area sawit yang tumpang tindih dengan area lainnya," kata dia. Ia melanjutkan, ISPO hanya mengatur tumpang tindih dengan pertambangan tapi belum dengan yang lainnya.

PT Jabontara Eka Karsa juga melakukan perambahan habitat orang utan. Padahal hewan tersebut merupakan satwa dilindungi dan jelas menyalahi aturan dalam ISPO. PT Gawi Bahandep Sawit Mekar yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

Begitu juga dengan PT Bhumireksa Nusa Sejati yang masih menanam sawit di lahan gambut dengan kedalaman 4 meter. Begitu juga dengan PT London Sumatera yang memiliki konflik lahan seluas 165,5 hektare dengan masyarakat. Bahkan selama menuntut pengembalian lahan, ada kriminalisasi oleh perusahaan terhadap masyarakat.

Ia melanjutkan, temuan tersebut akan disampaikan kepada komisi ISPO dan perusahaan untuk ditangani lebih lanjut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement