Jumat 07 Apr 2017 14:01 WIB

Pulang dari Australia, Enam Cendekiawan Muslim Indonesia Terbitkan Buku

Red: Ani Nursalikah
Enam peneliti Islam Indonesia (dari kiri): Muhammad Irfan Hasanuddin, Rofhani, Aisyah Arsad, Muhammad Muntahibun Nafis, Muhammad Rozali dan Siti Mahmudah.
Foto: ABC
Enam peneliti Islam Indonesia (dari kiri): Muhammad Irfan Hasanuddin, Rofhani, Aisyah Arsad, Muhammad Muntahibun Nafis, Muhammad Rozali dan Siti Mahmudah.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Enam peneliti Islam asal Indonesia berkesempatan mengikuti program ‘Partnership in Islamic Education Scholarship (Kemitraan Beasiswa Pendidikan Islam) atau PIES di Universitas Nasional Australia (ANU) di Canberra.

Dari hasil program tersebut, keenam cendekiawan Muslim ini menerbitkan karya doktoral mereka dalam sebuah buku berjudul Muslim Subjectivity: Spektrum Islam Indonesia. Buku ini berusaha mengungkap keberagaman Muslim Indonesia.

Rofhani adalah seorang dosen dan peneliti asal Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya. Ia baru saja menyelesaikan studi doktoral bertemakan Islam di kalangan kelas menengah Indonesia.

Dalam penelitiannya itu, Nani –begitu ia akrab disapa –menemukan adanya tiga golongan kelas menengah Muslim di Indonesia yang ia sebut sebagai golongan relijius regal, relijius personal dan relijius populer. Bersama kelima temannya, yakni Siti Mahmudah, Aisyah Arsyad, Muhammad Muntahibun Nafis, Muhammad Rozali dan Muhammad Irfan Hasanuddin, ia berkesempatan untuk mengikuti program PIES dengan menghabiskan satu tahun studi doktoral di ANU Canberra.

Program ini memungkinkan Nani untuk mendalami keterampilan akademik melalui keikutsertaan dalam konferensi maupun kegiatan ilmiah dan bertemu dengan komunitas Indonesia di Australia.

“Program PIES ini membuka wawasan kami mengenai kultur akademik. Selain itu, saya sebagai perempuan merasa sangat tersanjung karena kuota yang diberikan untuk kami 50 persen,” ujarnya dalam acara peluncuran buku tersebut di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Selasa (4/4).

Hal senada juga disampaikan Muhammad Nafis, peserta PIES lainnya asal Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Tulungagung. Ia mengatakan, tak hanya pengetahuan akademis, ia pun juga mendapat pemahaman multibudaya yang baru. “Program PIES bagi kami telah mampu merubah nalar rasio, setidaknya bagi saya ini membuka jagad cakrawala mindset kami,” tuturnya ketika ditemui dalam acara yang sama.

Ia lantas menambahkan, “Ini menjadi buku yang monumental untuk kami. Pada sisi lain, buku ini bisa memperkenalkan Muslim Indonesia kepada masyarakat dunia khususnya Australia.”

Mahasiswa PIES
Enam peneliti peserta program PIES saat di Canberrra.

Supplied: M.M. Nafis

Sebagai seorang peneliti, keenam cendekiawan dituntut untuk berpikir kritis. Sementara di saat yang bersamaan, mereka harus berhubungan dengan subyek penelitian yang rentan terhadap sensitivitas agama. Ketika ditanya mengenai hal itu, Nani mengaku ia terkadang menemui hambatan, terlebih mengingat golongan subyek dalam risetnya.

“Kritik itu pasti ada ya, apalagi saya menulis soal kelas menengah dan mereka pasti tahu hubungan antara Indonesia dan Australia. Ada beberapa subyek yang, untuk saya pribadi, karena saya juga harus mengikuti etika penelitian, bertanya-tanya ‘jangan-jangan kita memberi informasi yang bisa disalahgunakan’,” ungkapnya kepada Nurina Savitri dari Australia Plus.

“Jadi saya harus benar-benar menjelaskan bahwa ini untuk konteks akademik yang mana kita harus kritis,” imbuhnya.

Nani mengatakan, dari tiga golongan kelas menengah Muslim yang ditemukannya selama penelitian, mayoritas Muslim Indonesia berada di golongan populer. Menurut Nani, golongan ini adalah mereka yang menunjukkan atribut dan perilaku agama atas dasar tren, berbeda dengan kaum regal yang mendalami agama secara luhur atau kauma personal yang menyimpan keyakinan sebagai konsumsi pribadi.

“Tapi penelitian saya kan berakhir di tahun 2015, nah makanya mungkin bisa berbeda dengan kenyataan yang ada saat ini, apalagi mengingat peristiwa politik yang ada sekarang,” jelasnya kepada Australia Plus.

Siti Mahmudah adalah cendekiawan Muslim lain yang turut menyusun buku Muslim Subjectivity. Dosen asal UIN Raden Intan Lampung ini mencoba melihat radikalisme dan gerakan politik Islam di Mesir dalam kaitannya dengan Indonesia. “Indonesia ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran Islam dan praktek syariat Islam di Mesir. Seperti halnya di Mesir, Islam di Indonesia itu juga terbagi dalam dua kubu yakni kubu Islamisme dan kelompok liberal,” terang perempuan ini.

Lebih lanjut Mahmudah menjelaskan, bentuk pengaruh itu bisa dilihat dalam konteks politik Indonesia saat ini. “Seperti yang terjadi saat ini, orang yang pro-Ahok itu golongan liberal tapi mereka mengatakan orang moderat. Orang yang kontra Ahok itulah yang Islamisme.”

Terlepas dari topik penelitian yang tak sepenuhnya serupa, bagi Mahmudah, Nani, Nafis dan kedua cendekiawan lainnya, buku ini berusaha untuk menyampaikan kemajemukam Islam dan penganutnya di Indonesia.

“Bahwa keberagaman islam di Indonesia itu seperti pelangi. Selalu berkembang seiring dengan perkembangan politik budaya di negara ini,” kemuka Nani saat memberi sambutan dalam acara peluncuran buku, Selasa (04/4).

Program PIES -yang diselenggarakan oleh Pemerintah Australia -sendiri telah menginjak tahun ke-15. Di tiap akhir program, mahasiswa selalu diwajibkan mempublikasikan karya penelitian mereka ke dalam sebuah buku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement