Ahad 16 Apr 2017 03:29 WIB

Panglima: TNI tak Bisa Dipisahkan dari Kiai dan Santri

Rep: EH Ismail/ Red: Israr Itah
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat memberikan sambutan pada acara Tahlil Umum di Makbaroh Gajah Ngambung Buntet Pesantren dalam rangka haul almarhumin sesepuh dan warga Pondok Buntet pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (15/4).
Foto: Republika/EH Ismail
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo saat memberikan sambutan pada acara Tahlil Umum di Makbaroh Gajah Ngambung Buntet Pesantren dalam rangka haul almarhumin sesepuh dan warga Pondok Buntet pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (15/4).

REPUBLIKA.CO.ID, BUNTET --- Keberadaan kesatuan Tentara Nasional Indonesia atau TNI (dulu bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI) tidak bisa dilepaskan dari para kiai dan santri. Sebab, para kiai dan santrilah yang secara faktual membentuk dan mendirikan TNI. 

Menurut Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, setidaknya ada empat peristiwa sejarah bangsa yang membuat TNI dan kiai serta santri tidak bisa dipisahkan. Peristiwa pertama adalah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.

"Indonesia bisa merdeka karena perjuangan dipimpin para santri dan ulama-ulama," kata Gatot saat memberikan sambutan pada acara Tahlil Umum di Makbaroh Gajah Ngambung Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (15/4).

Tahlil umum tersebut merupakan salah satu rangkaian Haul Almarhumin Sesepuh dan Warga Pondok Buntet Pesantren Cirebon 2017. Acara ini juga sempat dihadiri Presiden Jokowi Widodo pada Kamis (13/4).

Panglima melanjutkan, santri dan ulama/kiai berjuang bersama-sama dengan umat agama lain, yakni nasrani, hindu, dan budha serta berbagai macam suku bangsa, hingga Indonesia bisa meraih kemerdekaannya. Mereka semua bahu-membahu sampai akhirnya Indonesia bisa menjadi bangsa yang hebat sekarang ini. Karena itu, perjuangan para kiai dan santri yang merupakan perjuangan dengan mengorbankan keringat, harta benda, bahkan nyawa, haruslah terus diingat bangsa Indonesia. 

"Itu semua tidak bisa dipungkiri dan pada saat itu TNI belum ada," kata Panglima. 

Peristiwa selanjutnya adalah peristiwa 5 Oktober 1945 atau hari kelahiran TNI. Saat itu, TNI lahir karena perjuangan para ulama. Bahkan, para pemimpin di tubuh TNI pun adalah para ulama. Banyak panglima kodam kala itu dipimpin oleh mantan pejuang-pejuang yang juga kiai. Setelah sukses memperjuangkan kemerdekaan, sebagian kiai pulang ke pesantren dan sebagian lainnya bersama para santri memilih menjadi tentara. 

"TNI pertama kali dipimpin Jenderal Sudirman dan oleh anak buahnya dia dipanggil kiai. Jadi TNI tidak bisa lepas dari para kiai, para ulama, dan para santri," katanya.

Peristwa ketiga yang menegaskan keterikatan TNI dan para kiai serta santri adalah keluarnya resolusi jihad yang digaungkan KH Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Tepat satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mendapatkan kabar bahwa tentara penjajah akan membonceng pesawat sekutu untuk kembali ke Indonesia.

Penjajah belum rela Indonesia merdeka dan merencanakan serangan pada Oktober 1945. Dalam kondisi kebingungan dan TNI belum terbentuk, pada 17 September Presiden Sukarno meminta fatwa kepada KH Hasyim Asy'ari. Pada akhirnya keluarlah fatwa jihad pada 22 Oktober yang menyatakan bahwa perjuangan membela Tanah Air merupakan suatu jihad fi sabilillah. 

Selanjutnya, kata Panglima, dengan resolusi jihad itulah maka terjadi peristiwa keempat, yakni peperangan di Surabaya pada 10 November 1945 yang kini dikenal dengan Hari Pahlawan. 

"Pada hari pahlawan, para kiai ikut berjuang bersama santri. Dengan kehebatan para kiai semuanya bisa diatasi," ujar Panglima.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement