Kamis 27 Apr 2017 11:58 WIB

Rantau, Anak, dan Surau

Red: Fitriyan Zamzami
Dua pesilat asal Kabupaten Pesisir Selatan Thoriq Ilham (kanan) dan Maulana (kiri), unjuk kebolehan pada kategori pasangan putra 17-25 tahun ajang Festival Pencak Silat Internasional di GOR Indarung, Padang, Sumatra Barat, Sabtu (22/10). Festival Pencak Si
Foto: Antara/Iggoy El Fitra
Dua pesilat asal Kabupaten Pesisir Selatan Thoriq Ilham (kanan) dan Maulana (kiri), unjuk kebolehan pada kategori pasangan putra 17-25 tahun ajang Festival Pencak Silat Internasional di GOR Indarung, Padang, Sumatra Barat, Sabtu (22/10). Festival Pencak Si

Oleh Yusuf Maulana*

Orang Minangkabau sering menyebut tanah kelahirannya sebagai ‘alam Minangkabau’. Menurut intelektual tanah Minang, Mochtar Naim, tambahan ‘alam’ kepada kata ‘Minangkabau’ merupakan “konsep perjalinan luhak (kampung asal) dan rantau yang tak dapat dipisahkan dapat digambarkan; bahwa luhak tidak mungkin ada tanpa adanya rantau, dan demikian sebaliknya.” 

Merantau sering diidentikkan sebagai tradisi yang melekat dengan manusia Minang. Seakan belumlah dianggap insan Minang matang apabila seseorang belum bertandang ke tanah orang. Kedewasaan sebagai manusia Minang sering diukur dari kemauan untuk merantau. Bukan sembarang merantau atau sekadar mencari penghidupan sehari-hari. 

Dalam disertasinya yang kemudian dibukukan berjudul Merantau; Pola Migrasi Suku Minangkabau (1979), Mochtar Naim—dengan mengutip studi klasik petani Polandia oleh W.I. Thomas dan Florian Znaniecki (1927)—menyebutkan bahwa merantau sebagai “agent of cultural transmission”. 

“Dalam hal merantau,” petik Naim, “pengaruh ini terasa lebih kuat lagi, oleh karena ia bukanlah perpindahan secara permanen, tetapi suatu gejala sementara yang tujuannya ialah untuk membuat tempat asal menjadi tempat yang lebih baik untuk kembali. Selain suplai-suplai materi yang lebih nyata, nilai-nilai budaya juga ditransmit melalui saluran ini. 

Tetapi saluran budaya jelas bekerja secara dua arah: melalui perbuatan merantau maka budaya tempat asal disuplai, diperkuat dan ditantang oleh budaya baru; dan melalui merantau pula setiap perantau sedikit banyaknya juga bertindak sebagai penyalur budaya dari budaya asal, sambil menyesuaikan dirinya dan berorientasi dengan budaya yang ada di rantau.”

Arus merantau orang-orang Minang ke pelbagai tempat di tanah air, dengan demikian, tidak terpisahkan dengan misi budaya yang mereka yakini. Bahkan, lebih jauh lagi, merepresentasi alam berpikir mereka sebagai penjalan falsafah adat bersendi syara’. Artinya, tradisi merantau tak semata mentransmisi aspek budaya atau adat istiadat alam Minangkabau, tetapi juga sendi yang berada di balik semua itu, yakni Islam.

Seperti diungkapkan Prof. Mr. M. Nasroen dalam Dasar Falsafah Adat Minangkabau (1971), bila adat mengenalkan alam yang tampak (material; dunia), maka Islam hadir untuk melengkapi hadirnya pemahaman orang Minang tentang alam setelah ataupun di luar dunia. “Agama Islam terhadap adat Minangkabau,” kata Nasroen, “adalah menyempurnakan adat Minangkabau, sehingga orang Minangkabau sekarang dengan memiliki adat Minangkabau dan memeluk agama Islam, telah mempunyai dasar, pegangan dan keyakinan dalam menjalankan hidupnya untuk dunia dan akhirat.”

 Untuk mengetahui kesatuan tak terpisahkah adat dan Islam bagi orang Minangkabau, kita dapat melihat tatkala seorang lelaki menginjak baligh telah dibiasakan akrab dengan surau. Malah praktis ketika dia masih kanak-kanak, mereka sudah ‘dikeluarkan’ dari rumah untuk sehari-hari berinteraksi dengan kawan-kawannya di surau. Di surau mereka belajar berakal dan tumbuh sebagai manusia baligh sehingga sempurnalah akil baligh dalam dirinya. 

Di surau mereka bukan semata belajar soal agama, melainkan juga hidup ke depan. Dan berpisah dari rumah di usia kanak merupakan latihan awal lelaki Minang untuk merantau. Satu bekal yang diberikan selama menjalani penggembelengan di surau adalah mekanisme bertahan di tengah kemungkinan hadirnya kekerasan oleh orang lain. Bela diri berupa silek atau silat dijadikan alat untuk mempertahankan diri di lingkungan perantauan; sebuah alam baru yang bukan tidak mungkin bertolak belakang dan sarat turbulensi dengan falsafah hidup manusia Minangkabau.

Menyaksikan Surau dan Silek yang  tayang perdana serentak 27 April 2017 ini, sesungguhnya tak sebatas soal melihat narasi anak-anak kecil Minang dalam menyelami alam berpikir masyarakatnya. Fim besutan Arif Malinmundo ini juga lebih jauh mengenalkan ihwal kepengasuhan dan tantangan sebuah masyarakat di era yang terus bergulir, berubah drastis. Sebuah film yang mengajak kita merenung untuk mengisi ruang publik yang kian pepak oleh sampah konsumerisme dan budaya cepat-instan. Surau dan silat adalah simbol ‘kelambatan’, kesabaran, ketika hari ini semua orang ingin berlomba-lomba menjadi terbaik tanpa melihat proses. 

Semua berorientasi hasil, tanpa melihat apakah cara-caranya halal atau haram; menaatai aturan ataukah menentangi.

Mengenalkan anak sejak dini ke ruang publik yang ramah sepertinya satu persoalan pelik bagi orangtua sekarang. Betapa tidak, melepaskan ananda tercinta di ruang yang bermunculan potensi predator anak, sama artinya menyetorkan masa depan mereka ke para kriminal akut. 

Di Surau dan Silek, ada gedoran kerinduan untuk menghadirkan ruang publik yang ramah anak; ruang yang steril dan jauh dari tindakan kriminal sebagai kemestian bersama. Ruang yang menghadirkan keteladanan dalam beragama sebagai tempat mendidik kemandirian dan potensi kepemimpinan anak.

Dalam bahasa berbeda, sesungguhnya Surau dan Silek alat mengetuk kepedulian—terutama—pemangku kebijakan di banyak kota supaya kembali peduli terhadap ruang publik. Agar ruang publik diisi dengan hal positif dan mengantisipasi kemungkinan destruksi dari penyaluran energi anak-anak muda yang tidak tepat. 

Di tengah derasnya cabaran mengejar hasil, film ini mengajak kita untuk bersikap selembut angin semilir di tanah persawahan di Minang. Agar hidup tak selalu ngoyo dan berkompetisi ketat namun saat yang sama menyingkirkan kemanusiaan kita. Hadirnya mal dan artefak ruang publik modern seyogianya jadi penanda ada kecemasan yang harus dihadirkan oleh kita, terutama yang berposisi selaku orangtua. n

*Kurator Pustaka Lawas Perpustakaan Samben, Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement