Senin 26 Jun 2017 23:21 WIB

Mendagri: Presidential Threshold tak Ciderai Konstitusi

Rep: Debbie Sutrisno/ Red: Bilal Ramadhan
Tjahjo Kumolo
Foto: Republika/ Wihdan
Tjahjo Kumolo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tajhjo Kumolo menegaskan bahwa usulan Presidential Threshold atau batas ambang Presiden yang diusulkan pemerintah di angka 20-25 persen kursi suara masih sah dan berlaku. Bahkan usulan ini pun tidak bertentangan dengan konstitusi yang telah dibangun.

Tjahjo menjelaskan, putusan Mahkamah konsitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013 tidak membatalkan pasal 9 Undang-undang (UU) Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wapres. Artinya ketentuan Presidential Treshold 20 persen kursi atau 25 persen masih sesuai. Rancangan Undang-undang (RUU) pemilu tidak menambah dan tidak mengurangi Pasal 9 UU 42/2008 yang tidak dibatalkan MK.

"Sehingga dengan demikian tidak benar jika dikatakan bertentangan dengan konstitusi," kata Tjahjo, Senin (26/6).

Menurutnya, partai politik (Parpol) atau gabungan parpol yang memenuhi Presidential Treshold dapat mengusulkan pasangan calon presiden menjelang pelaksanaan pemilu Presiden dan Wakil Presiden.  Berkaca dari pemilu 2014, tidak ada permasalah terkait dengan batas ambang Presiden.

Dengan demikian logika yang dioponikan bahwa sistem pemilihan Presiden dan Wapres lima tahun lalu tersebut telah kadaluwarsa sebenarnya tidak tepat. Ini juga masih sesuai dengan konsotutsi UUD 1945 pasal 28 J ayat (2), bahwa pembatasan yang ditetapkan dalam UU adalah Konstitutional, sepanjang nilai maslahatnya/kebaikannya lebih besar ketimbang mudharatnya untuk Kepantingan Bangsa dan Negara.

Politikus dari PDI Perjuangan ini pun mengatakan, Presidential Treshold tidak dimaksudkan untuk enghalangi munculnya Capres lain (calon tunggal). Rumusan RUU Pemilu yang disusun pemerintah dan telah disetujui Pansus juga telah mengatur ketentuan bahwa koalisi atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan Capres-Cawapres "tidak boleh" menyebabkan parpol atau gabungan parpol lainnya tidak dapat mengusulkan pasangan capres-cawapres lainnya.

Kemudian, jika hanya terdapat hanya satu pasangan capres-cawapres maka KPU akan menolak dan memberi perpanjangan waktu pendaftaran Capres-Cawapres. Dengan demikian semangat pembentuk UU justru sebaliknya mendorong munculnya minimal dua pasangan Capres-Cawapres. Pada Pemilu 2009 terdapat lima pasangan Capres-Cawapres, sedangkan 2014 muncul dua pasangan Capres-Cawapres.

"Presidential Treshold tidak mereduksi esensi demokrasi, karena esensi demokrasi bukan di tentukan oleh kuantitas Capres-cawapres. Justru sebaliknya sistem pemilu yang dibangun sudah tepat karena mendorong  peningkatkan kualitas Capres-Cawapres yang sejalan dengan upaya penguatan esensi demokrasi serta konsolidasi demokrasi," ujar Tjahjo.

Dari pengalaman pemilu Presiden 2004, 2009, dan 2014?, Tjahjo melihat bahwa Preside terpilih setidaknya dalam tiga kali pemilu harus didukung oleh kekuatan parlemen kurang dari 50 persen plus satu. Hal tersebut membuat Presiden terpilih tersandera oleh kekuatan parlemen yang dominan.

Dalam kondisi politik yg tidak stabil demikian, Presiden terpilih tidak dapat segera merealisasikan visi, misi,  program dan janjiijanji politiknya semasa kampanye karena disandera oleh pragmentasi kekuatan politik yang sangat lebar.

Sehingga Presiden terpilih terpaksa harus melakukan konsolidasi politik dengan kekuatam politik yang tidak ikut berkeringat memperjuangkan terpilihnya Capres yang bersangkutan. Maka demikian tuduhan bhawa Presidential Treshold hanya menguntungkan pihak tertentu (gerrymandering) adalah tidak benar.

Justru sebaliknya, Presidential Treshold menciptakan sistem politik lebih adil bagi partai-partai serta mendorong terbangunnya konsolidasi politik yang lebih sehat dan kondisi politik stabil. Percepatan pembangunan disegala bidang hanya dpt dilakukan jika ditopang oleh stabilitas politik yang cukup.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement