Rabu 05 Jul 2017 05:48 WIB

Dekrit Presiden 5 Juli: Mempertautkan Golongan Islam dan Kebangsaan

Red: Muhammad Subarkah
Soekarno keluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959
Foto: ARNI
Soekarno keluarkan dekrit presiden 5 Juli 1959

Oleh: Lukman Hakiem*

SEBAGAI kelanjutan dari Mosi Integral Natsir yang disampaikan di parlemen pada 3 April 1950, diadakan perundingan antara delegasi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan delegasi Republik Indonesia (RI).

Pada 19 Mei 1950, ditandatangani Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dengan Pemerintah RI yang menyatakan: "menyetujui dalam waktu sesingkat-singkatnya bersama-sama melaksanakan Negara Kesatuan sebagai jelmaan daripada Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945."

Pada 20 Juli 1950, dalam Pernyataan Bersama Pemerintah RIS dan Pemerintah RI antara lain dinyatakan: "menyetujui rencana Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia." UUD itu didapat dengan mengubah Konstitusi RIS sedemikian rupa.

UUD 1945 Sama Sekali Tidak Menyebut Pemilu

UUD Negara Kesatuan ini  kemudian disebut UUD Sementara 1950. Disebut UUD Sementara,  karena di dalam UUD Sementara itu dimuat ketentuan mengenai Konstituante yang dibentuk untuk menyusun UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUD Sementara 1950.

Hal itu diatur dalam BAB 5 dan Pasal 134 UUD Sementara 1950. Dengan Pasal 134 itu,  terbukalah kesempatan rakyat melalui wakil-wakil yang dipilihnya untuk mendapatkan Undang-Undang Dasar yang dikehendakinya.

Semangat terbebas dari belenggu penjajahan menyebabkan para penyusun Konstitusi RIS dan UUD Sementara 1950 sangat peduli kepada kemauan rakyat sebagai dasar kekuasaan penguasa yang dinyatakan dengan pemilihan umum berkala yang jujur, umum, bersifat kebersamaan, rahasia,  dan bebas.

Dalam Konstitusi RIS itu dinyatakan dalam Pasal 34, sedang dalam UUD Sementara 1950 dinyatakan di Pasal 35.

Sesungguhnya,  inilah salah satu perbedaan pokok antara Konstitusi RIS,  dan UUD Sementara 1950, dengan UUD 1945 yang dirancang oleh BPUPK dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.

Salah satu kelemahan UUD 1945, meskipun mengaku menganut asas kedaulatan rakyat dan mengaku menganut sistem demokrasi perwakilan, tetapi tidak satu pasal pun di dalamnya yang menyinggung adanya pemilihan umum. Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (1) hanya mengatakan,  susunan keanggotaan MPR dan DPR "ditetapkan dengan undang-undang."

Atas dasar ketentuan UUD 1945 itu,  Prof. Muhammad Yamin (1903-1962) berpendapat boleh saja seluruh anggota MPR dan DPR diangkat oleh Presiden. Asalkan pengangkatan itu dilaksanakan berdasarkan undang-undang, maka pengangkatan seluruh anggota MPR dan DPR oleh Presiden, sah adanya.

Mewujudkan Gagasan Bung Karno

Prawoto Mangkusasmito (1910-1970) dalam S. U.  Bajasut dan Lukman Hakiem (2014) mencatat, dengan Pasal 134 UUD Sementara 1950 terbuka jalan untuk merealisasikan pokok pengertian kedaulatan rakyat seperti yang dijelaskan oleh Ir Sukarno dalam pidato di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 1 Juni 1945.

Dalam pidato yang kemudian dibukukan dengan judul "Lahirnya Pancasila", Bung Karno antara lain mengatakan: "Apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan/badan perwakilan. Inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat apa-apa yang dirasa perlu bagi perbaikan."

Menurut Bung Karno, jika memang kita rakyat Islam,  marilah kita bekerja sehebat-hebatnya agar sebagian terbesar kursi badan perwakilan rakyat diisi oleh utusan-utusan Islam.

Jika 60%, 70%, 80%, 90% utusan yang duduk dalam dewan perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam, Bung Karno yakin: "Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat itu hukum Islam."

Menurut Prawoto, hakikat pemikiran Bung Karno pada 1 Juni 1945 itulah yang kemudian memimpin pertumbuhan kepartaian di Indonesia menuju pemilihan umum untuk membentuk parlemen dan Konstituante.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement