Kamis 27 Jul 2017 01:45 WIB

Ini 3 Cacat Fundamental Jika UU Pemilu Dipakai Pilpres 2019

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Warga memasukan surat suara ke kotak suara. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Undang-Undang (UU) Pemilu yang akan dipakai untuk Pilpres dan Pileg 2019 dianggap memiliki 'cacat fundamental'. Menurut konsultan politik Denny JA, apabila DPR mengesahkan UU yang mengatur presidential threshold 20-25 persen maka jelas mengandung cacat untuk tiga nilai utama demokrasi.

Hal itu lantaran Pilpres dan Pileg akan berlangsung serentak, serta tak semestinya berpatokan pada hasil Pemilu 2014. "Pangkal utama cacat dari undang undang itu adalah memaksakan hasil pemilu 2014 digunakan sebagai ambang batas untuk calon presiden pada pemilu berikutnya di 2017," katanya dalam siaran pers, Rabu (26/7).

Menurut pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI) itu, dilanggarnya prinsip kesamaan hak dan posisi hukum partai politik. UU Pemilu memberikan ruang bagi hadirnya partai baru, yang untuk pertama kalinya ikut Pemilu 2019. Namun partai baru itu tak diberikan hak yang sama kepada partai baru itu untuk menentukan calon presiden.

"Basis dukungan yang dihitung untuk presidential threshold Pemilu 2019 hanya milik partai lama, yang ikut pemilu di tahun 2014 saja," ujarnya.

Kedua, UU Pemilu meniadakan hak warga untuk tak setuju pilihannya pada partai di satu pemilu digunakan untuk basis kekuatan partai itu pada pemilu berikutnya. Padahal bisa saja pada pemilu berikutnya, partai dan tokoh berubah justru menjadi musuh utamanya.

"Itu sebabnya mengapa dukungan partai itu berubah pada setiap pemilu. Bahkan PDIP pada tahun 1999 mendapatkan dukungan di atas 33 persen. Tapi pada pemilu berikutnya (2004) tersisa hanya hampir separuhnya saja, yakni di bawah 19 persen," terang Denny.

Ketiga, presidential treshold sebesar 20-25 persen sebagai syarat pengajuan capres 2019 mengacaukan desain kelembagaan demokratis yang ingin diterapkan di Indonesia. Dia menilai, tetap dipaksakannya presidential threshold bagi pemilu serentak justru memperlemah sistem presidensial murni.

"Ini justru mencampurkan dua desain kelembagaan, membuat capres bergantung pada koalisi parlemen. Basis pencalonan capres justru posisinya dibuat oleh UU ini bergantung pada kekuatan partai (ambang batas) di parlemen," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement