Ahad 27 Aug 2017 08:57 WIB

Emansipasi, Bung Karno, dan Poligami

Red: Muhammad Subarkah
Bung Karno-Fatmawati bersepeda
Foto: blogspot
Bung Karno-Fatmawati bersepeda

Oleh: Lukman Hakiem*

SEMENJAK seorang pesohor diketahui menikah lagi alias berpoligami,  jagat dunia maya bergonjang-ganjing. Poligami dipergunjingkan.

Ini bukan untuk pertama kalinya soal poligami dipergunjingkan. Beberapa tahun yang lalu,  ketika KH Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) diketahui menikah lagi, jagat sosial heboh.  Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ikut cawe-cawe dengan memanggil pejabat Kementerian Agama ke Istana Negara.

Dalam pergunjingan itu, amat terasa pembentukan opini mengenai poligami yang dianggap salah.

Dan terkait polemik soal poligami ini,  tentu menarik untuk menyimak dengan saksama pandangan Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia, Ir  Sukarno.

Mengapa Bung Karno?

Bung Karno tidak hanya dikenal sebagai sebagai tokoh golongan kebangsaan yang mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Bung Karno dikenal juga sebagai tokoh yang akrab dengan Islam dan tokoh-tokoh Islam.

Bung Karno menimba pengetahuan Islam dari tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Syaikh Ahmad Soorkati,  dan Ahmad Hassan.

Kumpulan surat-suratnya kepada pemimpin Persatuan Islam (Persis) A. Hassan, "Surat-surat Islam dari Endeh", sampai sekarang tetap menarik dibaca.

Sebagai pembelajar Islam yang tekun, Bung Karno dikenal dengan seruan lantangnya kepada umat Islam agar "memudakan pengertian Islam." Bung Karno juga mendesak kaum Muslimin agar mengambil "apinya Islam." Bukan debunya Islam!

Polemik Sukarno dengan Mohammad Natsir mengenai persatuan agama dengan negara, hingga kini tetap merupakan bahan bacaan dan pengetahuan yang menarik.

Lebih dari segalanya, Bung Karno bukanlah seorang yang hanya berkata-kata. Dia berkata-kata sekaligus mencontohkan bagaimana melaksanakan kata-kata itu.

Percakapan dengan Fatmawati

Dalam masa pengasingan di Bengkulu, Bung Karno yang sejak mahasiswa di Bandung menikah dengan Inggit Ganarsih pada 1923, berkenalan dengan seorang gadis kelahiran Curup yang berselisih usia 20 tahunan dengannya. 

Gadis itu bernama Fatmawati. Gadis itu adalah salah seorang murid Bung Karno di Sekolah Rendah Muhammadiyah.

Pada suatu hari,  sambil menyusuri pantai yang berpasir putih,  Fatmawati bertanya kepada Bung Karno: "Mengapa orang Islam dibolehkan mempunyai istri lebih dari satu?"

Bung Karno menjawab dengan merujuk kepada sejarah awal perkembangan Islam seraya menambahkan:

"Akan tetapi untuk menghindarkan hawa nafsu kehewanan atau perkelahian perempuan di antara mereka sendiri, maka Nabi menerima wahyu dari Tuhan yang mengizinkan laki-laki mempunyai istri sampai empat orang agar tercapai suasana yang tenang. Tetapi di Bali orang menjalankan poligami yang tidak terbatas. Seorang pangeran yang sudah berumur 76 tahun belum lama ini mengawini istrinya yang ke-36. Umurnya 16."

"Tidak adilkah hukum Islam terhadap perempuan?" tanya Fatmawati.

Dengan tangkas Bung Karno menjawab: "Sebaliknya, ajaran Nabi menaikkan derajat perempuan. Sebelum itu kedudukan perempuan ssperti dalam neraka. Orang tua menguburkan anak-anak gadis hidup-hidup oleh karena dianggap sebagai beban. Laki-laki hanya menyerahkan mas kawin kepada si bapak dan membeli anak gadisnya untuk dijadikan istri. Pada waktu sekarang perempuan tidak dibeli seperti membeli kambing. Perempuan sekarang menjadi teman hidup yang sama kedudukannya dalam perkawinan."

Fatmawati yang menurut Bung Karno cerdas itu, bertanya lagi: "Perlukah seorang Islam mendapat persetujuan dari istri pertama sebelum mengawini istri yang kedua?"

Bung Karno menjawab lugas: "Tidak wajib. Hal ini tidak disebut-sebut dalam Al-Quran dan Hadits. Ini kemudian ditambahkan dalam fiqh."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement