Jumat 08 Sep 2017 17:27 WIB

Batik Banyuwangi yang Menghidupi

Red: Karta Raharja Ucu
Suasana di rumah produksi batik yang dikelola Nanang Edi Supriyono.
Foto: Dokumentasi PT PNM
Suasana di rumah produksi batik yang dikelola Nanang Edi Supriyono.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Priyantono Oemar, wartawan Republika.co.id

Urip iku kudu urub. Falsafah ini kuat tergambar di motif batik Banyuwangi. Nanang Edi Supriyono, salah satu perajin batik di Banyuwangi, juga mencoba menerapkan falsalah Jawa ini dalam kehidupannya. Arti harfiahnya hidup itu harus menyala. Arti filosofinya, hidup itu harus bermanfaat.

Nanang termasuk sedikit pembatik di Banyuwangi yang membuka usaha sebelum masa kepemimpinan Bupati Abdullah Azwar Anas. "Sebelumnya hanya sekitar 15 pembatik, kini menjadi 30 pembatik dengan adanya acara tahunan Banyuwangi Batik Festival dan berbagai program pemberdayaan, seperti penggunaan seragam kantor berupa batik," ujar Plt Kepala Dinas Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kabupaten Banyuwangi Alief Rachman Kartiono, Jumat (8/8).

Satrio Batik yang dikelola Nanang dipasangkan dengan desainer Italia Milo Miliavacca, menampilkan busana Muslim dengan warna cerah. Warna cerah, menurut Nanang merupakan ciri khas batik Banyuwangi. "Tapi saya mencampur dengan warna dari daerah lain agar batik Banyuwangi diterima orang luar Banyuwangi," ujar Nanang.

Misal, warna merah batik Banyuwangi sangat ngejreng, maka ia melunakkan warna ngejrengnya itu. Tiga warna khas di batik Banyuwangi menurut Nanang adalah merah, kuning, dan hitam. Tetapi, meski batiknya dibawa oleh desainer Italia di Banyuwangi Batik Festival, belum ada pengaruh besar untuk permintaan pasar terhadap batiknya. Ia masih melayani pelanggan lama para turis yang mampir ke gerai batiknya dan lembaga-lembaga negara yang memesan batiknya untuk suvenir dan seragam.

Nanang mulai membuka usaha batik di Banyuwangi pada 2000. Ia memutuskan pulang ke kampung halamannya setelah usaha batik tempat kerjanya di Bali tutup. Ia pulang untuk dapat memberi manfaat bagi orang banyak di kampungnya dengan membuka usaha batik bermodalkan Rp 850 ribu untuk gaji dan pesangon.

Ia kini bisa melibatkan 50 tetangganya, setelah sempat hampir bangkrut. "Tiga puluh orang di antaranya adalah ibu-ibu yang terbagi dalam tiga kelompok pewarnaan batik," jelas Nanang.

Motif ayam jago dipadu dengan motif gajah oling batik Banyuwangi. (Foto: Priyantono Oemar)

Motif kangkung setingkes dan gajah oling menjadi bagian dari motif yang dikembangkan Nanang di batiknya. Kangkung setingkes berisi harapan menjaga ikatan persaudaraan dengan saling menjaga kerukunan dan bermanfaat bagi satu sama lainnya. "Gajah oling berisi harapan untuk selalu ingat kepada Yang Mahabesar," jelas Nanang.

Ingat kepada Yang Mahabesar juga diwujudkan dengan membantu mengatasi  kesulitan yang dialami sesama. Maka, 30 ibu-ibu anggota kelompok pewarna batik ia rintiskan menjadi plasma usahanya. "Kita dorong mereka untuk bisa mendapat pinjaman Mekaar," ujar Nanang.

Nanang adalah nasabah Unit Layanan Modal Mikro (Ulamm) PT Permodalan Nasional Madani (PNM). Ia telah tiga kali menerima pinjaman program Ulamm yang bisa ia lunasi sebelum jatuh tempo. Pertama kali ia mendapat Rp 150 juta untuk jangka waktu tiga tahun. Sebelum tiga tahun ia sudah bisa melunasi.

Kemudian ia ambil lagi Rp 200 juta, juga untuk tiga tahun. Belum sampai tiga tahun ia juga sudah bisa melunasi. Kini ia mengelola pinjaman ketiga yang sudah ia jalani setahun lebih, sebesar Rp 600 juta, dengan jangka waktu lima tahun. "Saya juga ingin bisa melunasinya sebelum lima tahun," ujar Nanang.

Dengan menjadi nasabah yang baik di program Ulamm, ia berharap bisa membantu para pekerjanya untuk bisa mendapatkan pinjaman dari program pembiayaan Membina Ekonomi Keluarga Sejahtera (Mekaar). Nilainya cuma Rp 2 juta per orang dengan jumlah anggota kelompok 10-30 orang.

Motif

Banyuwangi memiliki 48 motif batik. Berada di wilayah pesisir, meliat motif-motfnya, Banyuwangi juga mendapat pengaruh dari motif Cina. Burung hong dan naga yang khas Cina menjadi bagian yang ada di motif-motif batik Banyuwangi. Di gerai Satrio Batik yang dikelola Nanang, batik dengan motif burung hong dan naga juga tersedia.

Selain itu, Nanang juga memakai motif pecah kopi, yang tahun ini dipakai tema Banyuwangi Batik Festival. "Tahun lalu temanya motif gajah oling," ujar Dita Ayu Safitri, staf pemasaran The Using Batik, Banyuwangi.

Motif pecah kopi dan gajah oling batik Banyuwangi. (Foto: Priyantono Oemar)

Dita bercerita, motif gajah oling merupakan motif tertua batik Banyuwangi. Bentuk motifnya seperti gantungan kain kelambu dipan Cina peranakan. Ada pengait yang menyerupai belalai gajah, dengan ornamen bunga.

Masyarakat Banyuwangi memaknainya sebagai motif gajah oling. Oling berarti eling, ingat. Gajah dimaknai sebagai sesuatu yang besar, sebagai gambaran Yang Mahakuasa. "Motif gajah oling berbentuk belalai melengkung, harapannya kita selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan selalu mengaitkan hidup dengan Sang Pencipta," jelas Dita.

Motif pecah kopi ada di Banyuwangi karena Banyuwangi juga sumber kopi. Bagi masyarakat Banyuwangi, minum kopi bersama merupakan wujud dari mempererat persaudaraan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement