Jumat 10 Nov 2017 07:29 WIB

Antara Pancasila Zaman 'Old' dan 'Now"

Red: Muhammad Subarkah
Monumen Perisai Pancasila yang menjadi peringatan peristiwa Kedung Kopi pada 22 Oktober 1965.
Foto: Republika/Andrian Saputra
Monumen Perisai Pancasila yang menjadi peringatan peristiwa Kedung Kopi pada 22 Oktober 1965.

Oleh: Ma'mun Murod Al-Barbasy

Dulu, di tahun 1985, Muktamar Muhammadiyah yang biasanya berlangsung di bulan Juli, terpaksa mundur sampai bulan Desember, karena menyikapi pemaksaan simbolisasi Pancasila sebagai asas tunggal.

Dulu, di tahun 1983 dan 1984, NU dibikin gaduh dan pecah jadi dua kubu: Kubu Cipete (Kubu KH Idham Chalid) dan Kubu Situbondo (Kubu KH As'ad Syamsul Arifin) karena strategi culas rezim saat itu agar NU dapat menerima simbolisasi Pancasila sebagai asas tunggal.

Dulu, dan bahkan sampai sekarang, HMI pecah jadi dua, HMI Diponegoro (pro asas tunggal Pancasila) dan HMI MPO (menolak asas tunggal Pancasila) karena dipaksa menerima simbolisasi Pancasila sebagai asas tunggal.

Dulu, Pelajar Islam Indonesia (PII) "dibekukan" tak boleh beraktivitas karena tak mau registrasi ulang ke Depdagri dengan Anggaran Dasar baru yang harus menyebut bahwa PII berasaskan Pancasila dan menolak simbolisasi Pancasila sebagai asas tunggal. PII aktif kembali selepas rezim Orde Baru lengser.

Dulu, Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) dipaksa berganti nama menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), selain karena simbolisasi Pancasila sebagai asas tunggal, juga karena rezim saat itu hanya mengakui OSIS sebagai satu-satunya organisasi pelajar. Baru selepas rezim Orde Baru tumbang, IRM pun berubah kembali menjadi IPM.

Dulu, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dipaksa harus berubah nama menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama (IPNU) karena rezim Orde Baru hanya mengakui wadah tunggal pelajar bernama OSIS dan juga simbolisasi Pancasila sebagai asas tunggal. Selapas rezim Orde Baru tumbang, IPNU tetap memilih menjadi Ikatan Putra Nahdlatul Ulama.

Dulu, yang melakukan pemaksaan untuk menerima simbolisasi Pancasila sebagai asas tunggal itu mahluk bernama negara.

Dulu, yang memaksa semua ormas untuk mengubah Anggaran Dasar dengan menyebut "Pancasila sebagai asas" adalah rezim otoriter bernama Orde Baru.

Dulu itu dulu. Dulu dan sekarang itu beda. Dulu yang suka melakukan pemaksaan atas nama Pancasila itu mahluk bernama negara. Tapi sekarang yang suka melakukan pemaksaan atas nama Pancasila dan sok merasa diri paling Pancasilais justru kelompok yang dulu dipaksa menerima asas tunggal Pancasila. Aneh bukan?

Ya itulah apakah beda Pancasila zaman ‘Old’ (dulu) dan Pancasila zaman ‘Now’ (sekarang)?

*Ma'mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP UMJ.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement