Selasa 14 Nov 2017 21:29 WIB

Pakar: Presidential Threshold tak Ada dalam Pemilu Serentak

Red: Bayu Hermawan
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMCR) Djayadi Hanan
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMCR) Djayadi Hanan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar ilmu politik sekaligus Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Djayadi Hanan menegaskan, Pemilu serentak berpotensi menghilangkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden. Djayadi juga mengungkap ada dua kesalahan utama soal presidential threshold atau ambang batas pengajuan calon presiden di undang-undang Pemilu.

"Ketika pilpres dilaksanakan serentak dengan Pemilu legislatif, maka potensi untuk menjadikan Pemilu legislatif sebagai prasyarat Pilpres melalui ambang batas pencalonan presiden sebetulnya menjadi tidak ada," ujar Djayadi di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (14/11).

Djayadi mengatakan hal tersebut ketika memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam uji materi Pasal 222 UU Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Dalam keterangannya, Djayadi mengatakan potensi hilangnya ketentuan ambang batas disebabkan karena Pemilu legislatif untuk masa Pemilu berjalan belum dilaksanakan sehingga hasilnya belum ada.

"Tidak ada jalan untuk menjadikan Pemilu legislatif sebagai prasyarat, maka dalam konteks tersebut ada dua kesalahan dalam ketentuan mengenai ambang batas pencalonan presiden yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017," kata Djayadi.

Kesalahan pertama dikatakan Djayadi adalah kembali menjadikan Pemilu legislatif sebagai prasyarat Pilpres. Sedangkan kesalahan kedua adalah Pemilu legislatif yang dijadikan sebagai prasyarat adalah Pemilu legislatif yang sudah terjadi pada masa Pemilu sebelumnya.

"Yang dari segi konfigurasi politiknya sangat mungkin tidak lagi sama dengan pemilu yang akan atau sedang berjalan," kata Djayadi.

Djayadi kemudian memaparkan masalah lain yang timbul dari adanya ambang batas pencalonan presiden dalam Pemilu serentak adalah ketentuan yang memiliki potensi bertentangan Pasal 6A ayat (2) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Adapun Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu sebelum pelaksanaan Pemilu.

Konsekuensi dari adanya ambang batas pencalonan presiden dikatakan Djayadi adalah sejumlah partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR, atau yang baru ikut Pemilu pada masa Pemilu berjalan, tidak dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.

"Atau mereka terpaksa ikut mendukung pasangan capres dan cawapres yang tersedia tanpa memiliki kekuatan politik untuk menyampaikan kehendak atau aspirasi akibat posisi mereka yang tidak mengganjilkan dan tidak menggenapkan," pungkas Djayadi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement