Selasa 12 Dec 2017 21:09 WIB

'Konflik Timur Tengah Suburkan Radikalisme di Indonesia'

Rep: Novita Intan/ Red: Elba Damhuri
Radikalisme(ilustrasi)
Foto: punkway.net
Radikalisme(ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Paham dan gerakan radikal di Asia Tenggara menjadi keprihatinan masyarakat Islam Indonesia. Maraknya perkembangan paham ini dinilai mengancam keutuhan NKRI.

Guru Besar Sejarah dan Peradaban Islam UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra mengatakan, paham radikal bersumber dari Timur Tengah. Fenomena ini pun memberi pengaruh terhadap Indonesia, khususnya kelompok Islam tertentu.

"Kelompok radikal seperti Alqaidah dan ISIS, walaupun ISIS telah mengalami kemunduran, tetapi tetap saja ada pendukung lainnya," kata Azyumardi usai diskusi "Violent Extremism & Religious Education in Southeast Asia" di Hotel Oriental Mandarin, Jakarta, Selasa (12/12).

Konflik di Timur Tengah, jelas Azyumardi, menimbulkan ekstremisme dan mempengaruhi Indonesia. Keributan di Iran, Irak, Libya, menimbulkan inspirasi bagi kelompok tertentu di Indonesia untuk terpengaruh paham radikalisme dan ekstremisme.

Menurutnya, saat ini pemerintah berusaha menyelesaikan fenomena tersebut dengan melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Densus 88, dan sejumlah perguruan tinggi. Azyumardi menegaskan paham radikalisme telah masuk di dunia pendidikan.

Wakil Direktur Pusat Kajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fuad Jabali, mengatakan negara yang terlalu kuat akan mematikan kreativitas masyarakat sehingga melahirkan resistensi dan perlawann terhadap negara. Alhasil, fenomena ini, kata dia, bisa dengan mudah dieksploitasi kelompok-kelompok radikal dan intoleran untuk mencapai tujuan-tujuannya.

"Negara yang terlalu lemah semakin dimanfaatkan kelompok-kelompok intoleran dan radikal untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dalam hal ini kemampuan masyarakat justru lebih aktif menanggapi radikalisme, sementara negara selalu lemah," Fuad menjelaskan.

Untuk itu diperlukan formula hubungan negara dan masyarakat yang lebih produktif. Dengan begitu, keterbukaan dan partisipasi masyarakat semakin tumbuh tanpa merampas hak-hak individu dan kelompok masyarakat.

"Supaya tidak saling memarginalkan dan mengorbankan kelompok-kelompok minoritas dan perempuan," jelasnya.

Langkah lainnya, ungkap Fuad, dengan mengembangkan kurikulum baru pada pendidikan agama secara terbuka, terutama soal keragaman agama, budaya, cara berpikir dengan akses terhadap kitab suci yang lebih dinamis. Diperlukan juga peningkatkan kemampuan guru agama agar bisa menjelaskan nilai-nilai universal agama mapun keragaman paham keagamaan.

"Pemerintah harus menjaga agar pendidikan agama tidak didesain dengan kelompok tertentu tanpa pengawasan. Dibutuhkan juga dialog kalangan pemuda untuk mengimbangi akses internet," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement