Jumat 19 Jan 2018 17:37 WIB

Guru Ngaji Ini Pembela TKI

Bersama beberapa lembaga kemanusiaan, Kurnengsih membuat lumbung desa di kampungnya.

Rep: mg01/ Red: Agus Yulianto
Sejumlah calon tenaga kerja Indonesia (TKI) mengikuti kegiatan belajar bahasa di salah satu tempat penampungan TKI di kawasan Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (21/7).
Foto: Antara/Risky Andrianto
Sejumlah calon tenaga kerja Indonesia (TKI) mengikuti kegiatan belajar bahasa di salah satu tempat penampungan TKI di kawasan Jatibening, Bekasi, Jawa Barat, Kamis (21/7).

REPUBLIKA.CO.ID, Sejak kecil, Kurnengsih hidup sederhana. Keluarganya tak memiliki banyak uang. Karena itu, dia tak berani bercita-cita tinggi. Kurnengsih memilih untuk menggali ilmu agama di sebuah pesantren di Subang, Jawa Barat. Meski uang terbatas, ia yakin akan keberkahan Allah SWT.

Dua tahun berjalan, Kurnengsih diminta kembali ke Cirebon. Gagal panen membuat ekonomi keluarga semakin sulit. Kurnengsih sempat menolak. Namun, ia kemudian sadar bahwa keluarganya benar-benar tidak lagi mampu membiayainya di pesantren. "It's ok lah, walaupun berat, ini kan permintaan orang tua," kata dia saat ditemui Republika.co.id, di Subang.

Tak betah di rumah, dia pergi ke Jakarta. Kurnengsih menjadi buruh pabrik di Ibu Kota. Setahun berjalan, dia pindah ke Bogor dengan profesi yang sama. Ketika itu, ayahnya sakit keras. Ibunya me minta Kurnengsih untuk kembali ke Subang.

Baru sepekan di rumah, ayah yang sangat dicintainya ini pergi untuk selama-lamanya menghadap Sang Pencipta. Hal ini menjadikannya berada di titik terendah dalam hidup. Kesedihan yang mendalam dan ke putusasaan membayang-bayangi pikirannya. Terlebih, dia harus dipecat setelah absen tiga hari karena harus menemani bapaknya.

Di tengah kegundahan, tetangga pun bercerita tentang kesuksesannya menjadi buruh migran. Kurnengsih berpikir, ini salah satu jalan untuk membuat kehidupannya menjadi lebih baik. Bermodal arahan dari tetangganya, dia terlebih dahulu mengikuti pelatihan di Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJ TKI), seperti keterampailan bekerja, bahasa, dan lain-lainnya selama delapan bulan.

Musim dingin Desember 2005, Kurnengsih berangkat ke Hong Kong. Dia menjadi pembantu rumah tangga di salah satu keluarga di sana. Pada tahun pertamanya, dia mengaku kesulitan untuk beradaptasi. Dia tak mengerti bahasa dan kebiasaan-kebiasaan lain di Hong Kong. Majikannya bukan sosok toleran. Untuk melakukan ibadah seperti shalat lima waktu saja, ia tidak diberi izin. Namun, dia tetap mencuri waktu untuk shalat.

Enam tahun dihabiskan Kurnengsih di Hong Kong sambil gonta-ganti majikan. Dia juga sempat berada di Makau beberapa bulan. Kurnengsih aktif di kegiatan sosial bergabung bersama organisasi Muslim di sana. Tiga tahun terakhir menjadi pekerja migran di Hong Kong, ia memiliki majikan yang baik, Kurnengsih diizinkan untuk mencari tempat tinggal di luar. Saat waktu kosong, dia ikut beroganisasi di perkumpulan Muslim dan menjadi relawan di Dompet Dhuafa Hong Kong.

Ia aktif mengikuti kegiatankegiatan sosial migran di Hong Kong. Kurnengsih juga ikut mendampingi dan membantu para migran Indonesia yang membutuhkan pertolongan. Banyak kasus migran yang ia dampingi. Dia mencontohkan, pernah mendampingi migran Indonesia yang mengalami kekerasan dari majikannya. TKI tak diberi makan dan disiksa karena dituduh mencuri. Kurnengsih membantunya untuk mendapat keadilan. Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan di pengadilan Hong Kong hingga migran tersebut mendapati keadilan sebagaimana mestinya.

Pada Januari 2011, dia memutuskan pulang ke Indonesia. Dia berhenti menjadi migran dan kembali ke pesantren di Subang, tempat yang pernah ia menimba ilmu kala masih duduk di bangku SMP. Kurnengsih membantu mengajar agama di pesantren itu. Dia juga tetap aktif menjadi relawan di Dompet Dhuafa dan terlibat dalam beberapa aktivitas sosial.

Meski sudah tak lagi berstatus sebagai buruh migran, kepeduliannya terhadap teman-temanya sesama TKI tetap ada. Dia sempat beberapa kali mendampingi kasus yang menyandung para buruh migran. Baru-baru ini, Kurnengsih membantu salah satu buruh migran bekerja di Malaysia yang mengalami masalah. Buruh migran tersebut mengalami stres dan sedikit gangguan jiwa, juga di sekujur tubuhnya mengalami bekas luka penyiksaan dan tubuhnya yang kurus.

Kurnengsih sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan buruh tersebut mengalami hal seperti itu. Majikan di Malaysia tidak mengakui menyiksanya, korban sendiri susah untuk dimintai ke terangan. Kurnengsih enggan untuk membawanya ke pengadilan. Ia hanya mengusahakan gaji si korban selama dua tahun dibayarkan yang akhirnya hak tersebut bisa diraih.

Empat bulan kepulangan di Indonesia, ia menikah dengan pria yang bernama Edy Suprianto (38 tahun). Mereka dikaruniai dua anak lelaki yang bernama Hasbi (4 tahun) dan Ayas (6 bulan). Hari-hari Kurnengsih di Indonesia ia tak luput dari kegiatan-kegiatan sosial. Dia membuat program Kampung Menjahit. Bermodal sedikit keterampilan ketika berada di Hong Kong, ia mengajak mantan-mantan buruh migran dan beberapa anak yatim binaanya untuk menjahit dan membuka jasa jahitan bagi masyarakat sekitar.

Bersama beberapa lembaga kemanusiaan, Kurnengsih membuat lumbung desa di kampungnya. Ada 50 mitra dari para petani dhuafa diberi pinjaman modal berupa pupuk dan pestisida.  n ed: a syalaby ichsan

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement