Kamis 01 Feb 2018 10:10 WIB

Bolehkah Penguasa Tetapkan Upah?

Tanggung jawab pemerintah dalam Islam merupakan tanggung jawab mutlak.

Rep: A Syalabi Ichsan/ Red: Agung Sasongko
Demonstrasi menolak upah rendah, ilustrasi
Demonstrasi menolak upah rendah, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA --  Indonesia menganut sistem upah minimum dalam skema gaji pekerja. Upah minimum merupakan standar minimum yang digunakan para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya.

Standar upah ini ditetapkan oleh gubernur berdasarkan rekomendasi dewan pengupahan. Setiap provinsi memiliki kebutuhan layak yang berbeda-beda. Karena itu, standar ini disebut upah minimum provinsi (UMP).

Upah buruh di Indonesia saat ini rata- rata mencapai Rp 2,3 juta. Meski demikian, masih banyak pengusaha yang ternyata menggaji pekerjanya di bawah standar.

Pengusaha yang menggaji karyawannya di bawah UMP terancam hukum pidana. Pada 2013 lalu, Tjioe Christina Chandra, seorang pengusaha asal Surabaya yang membayar karyawannya di bawah UMP harus menerima vonis satu tahun penjara. Sanksi pidana kepada pengusaha tersebut menjadi kali pertama di Indonesia.

Lantas, bagaimana Islam memandang pembatasan minimum untuk upah pekerja?Pada hakikatnya, Islam mewajibkan pengusaha untuk membayar upah para pekerjanya. Kewajiban itu pun bahkan harus dilakukan sebelum peluh pekerja mengering. Nabi SAW bersabda, Berikanlah kepada buruh akan upahnya sebelum kering keringatnya. (HR Ibnu Majah).

Pekerja yang dalam akad (kontrak kerja) digaji bulanan, maka di akhir bulan harus segera dibayarkan gajinya. Demikian pekerja harian. Setelah selesai ia bekerja se harian, gajinya harus dibayarkan.

Rasulullah SAW mengibaratkan jarak waktu pemberian upah dan selesainya pekerjaan dengan keringat. Jangan sampai keringat- nya mengering, artinya sesegera mungkin setelah ia menyelesaikan pekerjaannya. Tidak menunggu esok, apalagi lusa.

Rasulullah SAW juga mengancam orang yang melalaikan pekerja sebagai musuh Allah SWT pada hari kiamat. Salah satunya ditukil dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Ra. Dan seseorang yang menyuruh pekerja untuk bekerja, lantas pekerja itu menunaikan tugasnya, namun orang yang bersangkutan tidak memberikan upahnya. (HR Bukhari).

Imam al-Munawi mengatakan, seorang majikan yang menunda pemberian gaji berarti ia sudah melakukan kezaliman kepada pekerjanya. Diharamkan menunda pemberian gaji, padahal ia mampu menunaikannya tepat waktu.

Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering, demikian disebutkan al Munawi dalam Faidhul Qodir(Jilid 1: hal 718).

Imam al-Munawi berdalil dengan hadis Rasulullah SAW, Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezaliman. (HR Bukhari Muslim). Majikan yang suka menunda-nunda gaji para karyawannya sebenarnya mendapatkan ancaman serius dalam jinayah hukum Islam. Menurut al-Munawi, majikan tersebut halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman. Halal kehormatannya bermakna sang majikan halal untuk dibuka kebijakannya tersebut ke hadapan publik.

Syekh Yusuf Qaradhawi menjelaskan, tanggung jawab pemerintah dalam Islam merupakan tanggung jawab mutlak. Rasa tanggung jawab ini membuat Umar bin Khattab pernah berkata, Jika ada seorang anak kambing binasa di tepi sungai Furat, saya merasa akan dimintai pertanggunjawaban di hadapan Allah pada hari kiamat. Kalimat Umar ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW bahwa penguasa adalah pemimpin dan akan dimintai pertang- gungjawabannya. (HR. Bukhari dan Muslim).

Pemerintah pun memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keadilan dalam kehidupan manusia. Itu menjadi salah satu tujuan luhur dalam Islam. Karena itu, Islam memiliki perhatian khusus terhadap tegaknya keseimbangan antara penguasa dan rakyat, antara majikan dan buruh.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil..(QS an-Nisa: 58).

Syekh Qaradhawi juga menjelaskan, syariat Islam berusaha untuk mencegah kemudaratan yang akan terjadi pada sese- orang atau mencegah seseorang yang akan menimbulkan kemudharatan kepada orang lain. Sesuai dengan hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Majah yang mengungkapkan bah wa tidak boleh membuat mudarat kepada orang lain dan merugikan diri sendiri.

Itulah yang menyebabkan bahwa semua undang-undang dan peraturan untuk mencegah dharar ditolerir oleh Islam. Atur an ter sebut pun dianggap sesuai dengan kaidah syariat. Contohnya ada pada aturan sistem upah minimum tersebut.

Mengutip pendapat Shaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Sheikh Qaradhawi menjelaskan, diantara campur tangan penguasa ialah mencegah terjadinya penganiayaan seseorang terhadap orang lain dan satu golongan terhadap golongan lain. Dia pun meng haruskan semua masyarakat berlaku adil sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. Contohnya yakni penghargaan terhadap tenaga dan jasa pekerja di bidang ter- tentu, seperti pertanian, pertenunan, dan per tukangan. Penguasa dalam hal ini dapat menentukan upah yang layak bagi mereka demi kemaslahatan umum.

Tak hanya itu, para fukaha sejak zaman tabiin telah membolehkan campur tangan penguasa dalam menentukan harga pangan bilamana diperlukan. Ini tersirat saat Rasulullah SAW menjawab pertanyaan Anas RA saat harga melambung tinggi. Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga untuk kami. Nabi pun menjawab, Sesungguh nya Allah yang menentukan harga, yang memegang, yang melepaskan, dan aku ingin bertemu Allah sedang tidak ada se orang pun diantara kamu yang menuntut saya karena berbuat zalim baik terhadap darah maupun harta benda. (HR Abu Daud dan Tirmidzi).

Hadis ini menunjukkan, meski pasar bebas merupakan dasar dari perdagangan, penguasa bisa tetap turut campur. Dengan catatan, apabila pasar telah dicampuri unsur-unsur lain yang tidak sesuai dengan kebiasaannya dari para penimbun, orang yang mempermainkan harga dan sebagainya. Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement